Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) kembali berdemonstrasi di gedung DPR dan MPR menolak rencana pemerintah yang akan mengeluarkan aturan Omnibus Law soal Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka.
Tidak hanya di Jakarta, gerakan penolakan terhadap Omnibus Law serentak dilakukan di berbagai provinsi lain di Indonesia. Seperti, Aceh, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Gorontalo.
Presiden KSPI yang juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Iqbal, mengatakan pada dasarnya kaum buruh setuju dengan investasi. Namun demikian, kaum buruh dipastikan akan melakukan perlawanan jika kesejahteraan dan masa depan buruh dikorbankan hanya demi investasi.
Said Iqbal khawatir keberadaan Omnibus Law Cilaka akan merugikan buruh. Pasalnya, dalam aturan itu disebutkan adanya upaya menghilangkan upah minimum, menghilangkan pesangon, membebaskan buruh kontrak ,dan outsourcing (fleksibilitas pasar kerja), mempermudah masuknya tenaga kerja asing, menghilangkan jaminan sosial, dan menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
“Jika pemerintah serius ingin menghilangkan hambatan investasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja, maka pemerintah jangan keliru menjadikan masalah upah, pesangon, dan hubungan kerja menjadi hambatan investasi,” kata Said Iqbal melalui keterangan resmi yang diterima di Jakarta pada Senin (20/1).
Berdasarkan World Economic Forum, kata Said, dua hambatan utama investor enggan datang ke Indonesia karena masalah korupsi dan inefisiensi birokrasi. "Jadi, jangan menyasar masalah ketenagakerjaan," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Harian KSPI, Muhamad Rusdi, mengatakan masuknya investasi asing disertai dengan pemberian berbagai insentif adalah strategi pemerintah Jokowi di periode pertama. Ini terlihat dengan adanya 16 paket kebijakan ekonomi hingga terbitnya PP 78/2015 tentang Pengupahan yang membatasi kenaikan upah.
"Hasilnya, kebijakan tersebut dinilai gagal menggaet investasi sesuai target. Pertanyaannya mengapa strategi yang gagal tersebut akan diulangi kembali?" kata Rusdi.
Ia mencontohkan, kebijakan pemerintah menerbitkan PP 78/2015 untuk menahan laju kenaikan upah minimum telah berdampak pada turunnya daya beli buruh dan masyarakat. Selain itu, juga berdampak pada stagnannya angka konsumsi rumah tangga.
Daya beli yang menurun, kata Rusdi, juga terjadi akibat dicabutnya berbagai macam subsidi seperti BBM, listrik, gas, hingga kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"Itulah sebabnya, kami juga menyuarakan penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena kebijakan tersebut akan menurunkan daya beli masyarakat," ujar Rusdi.
Menurut Rusdi, upah yang dibatasi dan pencabutan subsidi membuat turunnya daya beli buruh formal dan informal yang mencapai 130 Juta jiwa. Dengan begitu, kaum pekerja yang jumlahnya ratusan juta itu tidak bisa menyerap atau membeli produk hasil industri, UKM, dan kaki lima. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi jadi terhambat.
"Kalau daya beli meningkat, maka konsumsi akan meningkat. Dan ketika konsumsi meningkat, maka hal itu akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi," kata Rusdi.
Karena itu, KSPI meminta agar pemerintah berpihak dan melindungi kaum buruh dan rakyat kecil yang lain. Menurutnya, negara tidak boleh abai. Apalagi justru lebih kuat keberpihakannya kepada para pengusaha hitam yang cenderung semena-mena.