Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Abdul Manan mengatakan, demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja memiliki kemiripan dengan unjuk rasa September 2019. Menurutnya, yang berbeda adalah substansi persoalan, tetapi berujung menunjukkan sikap pemerintah dan DPR.
Seperti diketahui, mahasiswa, masyarakat sipil, pelajar dan buruh menentang revisi berbagai regulasi pada September tahun lalu. Seperti, perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Dua peristiwa itu (demo September 2019 dan menolak UU Ciptaker) kemudian menunjukkan pemerintah dan DPR, kalau pemerintah dan kroni-kroninya ini lebih fokus pada kepentingan sendiri dan tentu mengabaikan aspirasi publik," jelasnya dalam jumpa pers secara daring, Sabtu (10/10).
Padahal, Manan mengatakan demonstrasi menolak UU Ciptaker bisa dicegah kalau DPR menghentikan pembahasan beleid sapu jagat itu, untuk mendengar aspirasi publik. Alih-alih demikian, imbuhnya, wakil rakyat malah mempercepat pengesahannya.
UU Ciptaker yang disahkan dalam rapat paripurna Senin, 5 Oktober 2020 lalu itu lebih cepat dari rencana awal yang akan diadakan pada Kamis, 8 Oktober.
Hal tersebut, kata Manan, turut menunjukkan tabiat sebenarnya pemerintah dan DPR sebagaimana revisi UU KPK. Menurutnya, tahun lalu eksekutif dan legislatif kompak menyebut perubahan regulasi lembaga antisuap untuk memperkuat, tapi yang terjadi saat ini KPK dianggap mengalami pelemahan.
"Jadi kami sadar bahwa argumentasi revisi UU KPK untuk memperkuat KPK itu adalah hanya omong kosong politik. Kini kita menghadapi hal yang sama dengan Omnibus Law (UU Ciptaker)," ujarnya.
Kondisi serupa dinilai terjadi saat Presiden Joko Widodo mengklaim UU Ciptaker mampu memperbaiki kehidupan pekerja, mengingat setiap tahunnya sekitar 2,9 juta anak muda baru masuk pasar kerja. Sehingga, kebutuhan atas lapangan pekerjaan baru sangat mendesak, apalagi ada 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19.
Sebanyak 87% dari total pekerja di Indonesia, sambung Jokowi, merupakan lulusan sekolah menengah atas (SMA) ke bawah. Lalu, sebesar 39% lulusan sekolah dasar (SD). Maka, perlu mendorong penciptaan lapangan pekerjaan baru, khususnya di sektor padat karya.
"Jadi, UU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran," kata Jokowi, saat konferensi pers, Jumat (9/10).
28 jurnalis alami kekerasan
Pengesahan UU Ciptaker memicu gelombang protes di berbagai daerah. Dari organisasi agama, masyarakat sipil, mahasiswa, pelajar, serikat buruh, petani, nelayan, hingga kalangan akademisi menyatakan menolak regulasi itu.
Pada gilirannya, penolakan tersebut berujung dengan gelombang demonstrasi pada 6-8 Oktober 2020 di berbagai daerah. Di ibu kota, aksi menolak pengesahan UU Ciptaker berakhir ricuh di simpang Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis (8/10), sekitar pukul 15.00 WIB.
Pantauan Alinea.id di lapangan, polisi menembakkan puluhan gas air mata ke arah pengunjuk rasa. Selain itu, dua mobil water canon dan satu barracuda juga berupaya mengurai para demonstran. Sebaliknya, para pengunjuk rasa membalas dengan melempar batu ke arah polisi.
Pada aksi di sejumlah daerah, AJI mencatat paling tidak ada 28 jurnalis yang mengalami kekerasan. Ketua bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan, semua pelakunya polisi. Pihaknya, kini sudah melaporkan enam kasus dan bakal mengajukan pelaporan lima kasus lainnya pada Sabtu (10/10).
Kendati demikian, Sasmito berharap perusahaan media tetap mendampingi jurnalisnya yang mengalami kekerasan untuk melaporkan. Sebab, berkaca dari wartawan yang sempat ditahan, mereka mengalami trauma.
"Karena itu kita juga berharap kepada perusahaan media untuk memberikan konseling kepada jurnalis yang menjadi korban kekerasan dalam aksi tolak Omnibus Law," ucapnya.
Terkait kekerasan terhadap jurnalis, sebelumnya Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan intimidasi terhadap wartawan di aksi demo menolak UU Ciptaker karena personel kepolisian melindungi dirinya sendiri.
"Memang kami seharusnya menjunjung dan melindungi wartawan, tetapi karena situasinya chaos dan anarkis, anggota juga melindungi dirinya sendiri," kata Argo.
Argo mengaku, telah ada imbauan kepada seluruh jajaran pengamanan demo untuk menghindari kesalahpahaman dengan jurnalis. Ia pun mengklaim akan menyelidiki kasus intimidasi itu.