Nestapa penyandang disabilitas berlipat ganda saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia sehingga kian tertinggal. Pangkalnya, berada di posisi rentan dan merebaknya wabah berdampak signifikan di berbagai sektor, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, hinga ketenagakerjaan.
"Kami melihat, pemerintah sebenarnya juga punya peran penting untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas karena ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas," ungkap Manajer Umum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Sri Indah Wibi Nastiti, webinar "Respons Pandemi Covid-19 dan Bencana Menuju Kota Inklusif Disabilitas", Rabu (1/12).
Sayangnya, kehadiran regulasi tersebut belum juga membuat penyandang disabilitas setara mengingat masih banyak tantangan yang dihadapi. Pemahaman masyarakat, pemberian fasilitas, dan pendampingan oleh pemerintah, contohnya.
Hal ini mendorong APEKSI bekerja sama dengan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) guna memenuhi hak penyandang disabilitas. Kemitraan, yang berlangsung sejak September lalu, meliputi berbagai kegiatan.
"Kita melakukan asesmen singkat dari mulai melakukan survei, kemudian melakukan forum discussion, sampai menyusun kebijakan bagaimana kita memberikan analisis dari temuan-temuan yang kita lakukan dan juga kita menyusun rekomendasi," tuturnya.
"Rekomendasi ini nanti harapannya untuk perbaikan kertas kebijakan ke depan bagi pemerintah, pemerintah daerah [pemda], maupun berbagai pihak karena ini sebetulnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah saja, tetapi multipihak, ada swasta, ada perguruan tinggi, ada media juga," sambung dia.
Dari kertas kebijakan itu bakal dilakukan pelatihan dan peningkatan kapasistas di 10 kota, salah satunya Kota Tarakan. Pun melakukan kampaye edukasi melalui video dan infografik dengan tujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat luas, khususnya pemda.
"APEKSI tentu fokusnya adalah para pemerintah kota [pemkot] dan kami puncaknya tanggal 6, hari Senin depan, kita lakukan dialog kebijakan dengan melibatkan para pemangku kepentingan termasuk juga diundang semua penyandang disabilitas dan juga para pihak semuanya," paparnya.
Berdasarkan hasil pendataan tersebut, didapati beberapa permasalahan yang terjadi dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Banyaknya peraturan perundang-undangan pemerintah pusat dan daerah yang tak tersinkronisasikan dengan UU Penyandang Disabilitas, seperti UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) dan UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang masih menggunakan terminologi cacat.
Temuan lainnya, banyak peraturan turunan UU Penyandang Disabilitas belum semua diterbitkan. Dampaknya, proses di lapangan terhambat, seperti belum adanya Unit Layanan Disabilitas Ketenagakerjaan atau Layanan Didik.
Berikutnya, banyak pemda belum menyusun peraturan daerah (perda) tentang pemenuhan hak-hak disabilitas dan alokasi anggaran di nasional masih minim.
"Tahun 2017 saja hanya 0,014%. Ini dari hasil studinya Semeru tahun 2020. Kemudian pendataan disabilitas itu belum terpadu dan masing-masing lembaga yang melakukan pendataan itu mempunyai instrumen dan mekanime yang berbeda sehingga pendataannya sering kali menjadi permasalahan,” urainya.
Penyandang disabilitas belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) ataupun Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan bantuan sosial (bansos) kepadanya tidak merata menjadi implikasi turunan lainnya dari berbagai persoalan tersebut. Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2019 mengamanatkan keterlibatan penyadang disabilitas, termasuk penyediaan bahasa isyarat dalam informasi publik.
“Untuk itu, kita sebenarnya sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dari hasil kajian tersebut," tegasnya.
Beberapa rekomendasi itu seperti urgensi sinkronisasi peraturan perundang-udangan, termasuk di tingkat daerah, dengan UU Disabilitas, segera menysun peraturan pelaksanaan UU Disabilitas, menyosialisasikan kebijakan perencanaan, serta pendataan terpadu dan dimuktahirkan.
“Dan terpenting bagaimana meningkatkan jaminan sosial, fasilitas kesehatan, pendampingan siswa disabilitas, lapangan pekerjaan yang inklusif, dan pemberdayaan ekonomi yang lebih luas pada penyandang disabilitas," imbuhnya.
Tarakan inklusif
Pada kesempatan sama, Wali Kota Tarakan, Khairul, menyatakan, pemdanya telah berpihak kepada penyandang disabilitas sekalipun belum menyusun perda terkait. Dicontohkannya dengan mengajak penyandang disabilitas membatik sejak 2019 bahkan membentuk Kelompok Usaha Bersama Disabilitas untuk Batik (Kubadistik).
“Semua fasilitas pelayanan kesehatan kita baik puskesmas maupun rumah sakit itu sudah menyiapkan fasilitas khusus untuk para penyandang disabilitas bahkan sekarang tempat-tempat wisata yang kami kelola menyediakan toilet khusus untuk disabilitas, termasuk untuk pintunya," tambahnya.