Sudah beberapa tahun ini, Adang Kosasih diberikan amanah sebagai Kepala Desa Tembong, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Desa Tembong berdekatan dengan bibir Pantai Carita, yakni hanya sekitar 500 meter saja.
Selama menjabat, belum ada kejadian luar biasa yang dihadapinya. Sampai pada Sabtu (22/12) malam itu.
Seperti biasanya, setiap menjelang malam, Adang Kosasih (46) sudah berada di rumah, beristirahat setelah seharian bekerja. Tetapi pada malam itu, tepatnya sekitar pukul 21.30 WIB, Adang mendengar keributan yang berbeda dari biasanya.
Tidak ada firasat apapun yang dirasakannya. Tetapi setelah ke luar rumah, belasan atau bahkan puluhan kendaraan roda dua dan empat sudah parkir di depan dan sekitar rumahnya.
Belum ditambah dengan warga dari desa sekitar yang datang dengan raut wajah dipenuhi ketakutan. "Kalau dihitung-hitung warga yang datang itu sekitar 5.000an orang," terang Kepala Desa Tembong itu kepada Alinea.id, Minggu (30/12) di Pandeglang.
Setelah mengetahui apa yang terjadi, Adang langsung menginstruksikan aparat Desa Tembong untuk menolong korban.
Apalagi setelah dia mendengar informasi ada dua korban bencana tsunami Selat Sunda yang kritis di masjid. Perangkat desa langsung membawanya ke Puskesmas.
Desa Tembong memang merupakan alternatif utama bagi warga pesisir Pantai Carita. Selain lokasinya yang dekat. Desa Tembong juga berada di ketinggian.
Bahkan berdasarkan penuturan orang tua yang turun-temurun, nama Desa Tembong terinspirasi dari peristiwa meletusnya Gunung Krakatau dan bencana tsunami pada 1883. Bencana alam itu menimbulkan banjir di wilayah pemukiman tersebut tetapi di wilyah yang sekarang menjadi Desa Tembong tidak terkena banjir dan terlihat jelas dari wilayah lampung atau dalam bahasa sunda Tembong Atau Timbul.
Mungkin itulah sebabnya, korban bencana memilih mengungsi ke Desa Tembong. Akibatnya, semua rumah penduduk di desa Tembong, Masjid, dan Sekolah Dasar penuh dengan pengungsi yang tinggal di dekat pantai dan tentunya wisatawan.
Posko pengungsi Desa Tembong mulai didirikan pada hari kedua. Dihari itu pula desanya baru sempat tersentuh bantuan. "Di Minggu pagi sampai siang, kami belum mendapat bantuan sama sekali. Menjelang Senin baru bantuan mulai datang. Apalagi saat berencana Presiden datang ke sini. Baru bantuan itu datang banyak," katanya.
Warga yang rumahnya di jadikan tempat pengungsian sementara mulai mengeluh dengan adanya pengungsi tersebut. Ternyata mereka ingin mendapat bantuan serupa dengan yang diterima pengungsi. Alasannya cukup masuk akal, yakni warga tidak bekerja seperti sedia kala pascatsunami.
Meski demikian, kondisi para pengungsi sudah sangat baik dibanding sebelumnya. Tetapi secara psikis, masih banyak korban tsunami yang meengalami trauma.
Pengungsi juga sudah mulai berani kembali ke rumah. Khususnya ketika siang hari. Mereka pulang untuk membersihkan dan mengamankan sejumlah barang berharga di tempat tinggalnya.
Kebutuhan logistik di Desa Tembong juga sudah mencukupi. Jumlah pengungsi juga sudah berkurang, menyisakan 800 jiwa saja. "Jumlah logistik pun sudah lebih dari cukup," katanya.