close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM membacakan pernyataan sikap di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Alinea.id/Fadli Mubarok
icon caption
Sejumlah aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM membacakan pernyataan sikap di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Alinea.id/Fadli Mubarok
Nasional
Senin, 13 Mei 2019 16:53

Desakan keluarga korban tragedi Mei 1998 pada presiden terpilih

Pemerintah didorong agar menjadikan tragedi Mei 1998 sebagai sebuah penanda dan titik tolak demokratisasi di Indonesia.
swipe

Keluarga korban tragedi Mei 1998 mendesak kepada presiden terpilih untuk tidak menempatkan pelaku pelanggar hak asasi manusia (HAM) dalam jajaran pemerintahan. Hal tersebut disampaikan sebagai pernyataan sikap menanggapi kasus tragedi Mei 1998 yang dianggap melanggar HAM namun belum ada penyelesaian hingga kini.

“Hal ini seharusnya bisa dilakukan oleh presiden terpilih nantinya dengan tidak menempatkan terduga pelaku serta keluarga terduga pelaku pelanggaran HAM dalam kekuasaan pemerintah,” kata anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Dimas Bagus Arya di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Senin (13/5).

Dimas menjelaskan, permintaan tersebut disampaikan agar dapat memutus impunitas dalam penuntasan kasus tragedi Mei 1998. Dengan tak ada pelaku pelanggar HAM dalam pemerintahan, menurut dia, akan mempermudah proses penegakan hukum dan HAM. 

Selain itu, juga dapat menjamin good govenance yang seharusnya bersih dari individu yang memiliki rekam jejak negatif pada isu HAM. Keluarga korban juga mendorong agar pemerintah dapat menjadikan tragedi Mei 1998 sebagai sebuah penanda dan titik tolak demokratisasi di Indonesia.

“Perjuangan menggerus otoritarianisme yang mengorbankan ribuan nyawa ini harus menjadi upaya reflektif bersama bagi para elite politik dan juga masyarakat Indonesia guna menyudahi budaya kekerasan yang ada di negara ini,” ucap Dimas.

Dimas juga mengingatkan agar pemerintah menghindari perilaku diskriminatif. Juga menjamin hak warga negara seperti hak berorganisasi, berekspresi, dan jaminan perlindungan hukum serta kepastian yang setara bagi lapisan masyarakat.

Pada kesempatan ini, beberapa organisasi hak asasi manusia (HAM) beserta keluarga korban tragedi Mei 1998 menyatakan sikap bersama guna merefleksikan pelanggaran HAM 21 tahun silam itu, khususnya peristiwa di Mall Klender, Jakarta Timur.

Orang tua korban pelanggaran HAM berziarah ke makam anaknya yang menjadi korban Tragedi Mei 1998. Alinea.id/Fadli Mubarok

Menurut Dimas, rentang waktu selama 21 tahun terakhir yang terjadi adalah sebuah anomalitas untuk menyelesaikan sebuah kasus pelanggaran hukum. Jangka waktu yang begitu panjang menjadi bukti bahwa negara benar-benar secara sengaja mengabaikan korban dalam berjuang mencapai reformasi pada 1998 silam. 

Dimas menjelaskan, kejadian yang terjadi pada 13 sampai 15 Mei 1998 telah menelan korban sebanyak 1.190 jiwa. Dari jumlah itu, 85 perempuan—khususnya etnis Tionghoa—menjadi korban pemerkosaan secara berkelompok, dan ratusan properti dirusak dan dibakar.

Tindakan brutal dan terorganisir itu setidaknya terjadi di 88 lokasi di seluruh wilayah kota seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan beberapa tempat di Bandung, Solo, Klaten, Boyolali, Surabaya, Medan, Deli, Sumalungun, Palembang, dan Padang.

Menurut Dimas, pada awal reformasi sempat dilakukan usaha penyelesaian di masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dengan membentuk Komisi Nasional untuk Perempuan. Lembaga tersebut telah mengumpulkan sejumlah bukti .

Akan tetapi, upaya pengumpulan bukti itu sia-sia. Pasca pergantian rezim, dari tahun ke tahun, usaha itu kini seolah-olah hanya menjadi lelucon politik belaka.

“Bukti-bukti tersebut harus kandas di Kejaksaan Agung. Berulang kali Kejagung mengembalikan dokumen hasil penyelidikan Komnas HAM, yang terakhri terjadi pada 2018,” ujar Dimas.

Proses tersebut, lanjut Dimas, terus berulang akibat menguatnya impunitas pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM. Baginya, selama dua dekade peristiwa itu berlangsung terlihat tidak ada kemajuan yang patut dipuji.

Selama rentang waktu itu pula, para korban dan keluarga harus menanggung penyiksaan batin dan fisik akibat belum adanya pertanggungjawaban dari negara untuk mengakui secara resmi. Negara, kata Dimas, belum berhasil memulihkan martabat dan hak-hak korban serta menegakkan supremasi hukum.

“Selanjutnya melakukan memorialisasi seperti yang telah dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam mengenang peristiwa kekerasan Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, agar dilakukan juga terhadap situs atau tempat-tempat pelanggaran HAM di seluruh Indonesia,” ucapnya.

Hal tersebut, dipercaya Dimas, dapat menjadi sebuah rambu-rambu di masa depan agar tidak lagi terjadi peristiwa keji yang mengorbankan nyawa manusia. Langkah ini bisa juga disebut sebagai upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia seluruh warga negara.

Adapun beberapa organisasi HAM yang turut serta menyampaikan sikap hari ini meliputi Amnesty International Indonesia, KontraS, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), dan Paguyuban Mei’98. Mereka mendampingi keluarga korban tragedi Mei 1998 berziarah di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

img
Fadli Mubarok
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan