Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengaku jengkel mengetahui rencana Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk merekrut dosen dan rektor dari negara asing.
Seperti diketahui, rencana merekrut tenaga pendidik asing yang dilakukan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan dan mempercepat peringkat perguruan tinggi (PT) Indonesia di skala dunia.
Menurut Darmaningtyas, alih-alih ingin memperbaiki kualitas PT, Kemenristekdikti malah mendorong pendidikan Indonesia kembali dijajah oleh bangsa asing melalui ilmu pengetahuan. Hal itu merujuk pada kondisi awal PT di Indonesia dalam medio 1940-1950-an di mana merebak dosen asing, khususnya dari Belanda.
Darmaningtyas berpendapat bahwa tidak ada urgensi untuk melakukan kebijakan tersebut. Terlebih di era globalisasi seperti sekarang ini, pertukaran dosen atau tenaga mengajar adalah suatu hal yang sudah lumrah dilakukan. Tidak hanya itu, pertukaran mahasiswa atau pelajar sebenarnya juga sudah lama dikembangkan.
"Tapi, masalahnya, yang akan dilakukan Kemenristekdikti bukan hanya pertukaran dosen, melainkan impor dosen dan rektor. Ini persoalannya sudah sangat berbeda," katanya kepada Alinea.id pada Jumat (9/8).
Menurut Darmaningtyas, antara pertukaran dosen atau mahasiswa dan kebijakan mendatangkan dosen dari luar adalah dua hal berbeda. Untuk sifat pertukaran misalnya, masing-masing negara membiayai mereka yang dikirim ke negara lain. Negara yang dituju tidak terbebani dengan anggaran yang besar.
Kalau impor dosen atau rektor, dampaknya bisa menguras devisa negara untuk membayar tenaga kerja asing itu.
Pengurasan devisi ini, menurut dia, mungkin terjadi karena apabila kualifikasi yang diharapkan adalah berkaliber internasional, tentu gaji minimum yang harus dibayar negara bisa mencapai US$10.000 sampai US$15.000. Gaji ini di luar fasilitas pendukungnya, seperti tempat tinggal, jaminan kesehatan, akomodasi dan biaya lain.
Apabila kebijakan mendatangkan pengajar atau rektor asing diterapkan, kata Damaningtyas, membuka kemungkinan terjadinya ketidakadilan terhadap tenaga pengajar lokal, terutama terhadap mereka yang memiliki gelar profesor atau doktor. Hal itu lantaran gaji mereka hanya berkisar 10% dari yang diterima dosen atau pengajar asing.
Mengenai mutu dosen dan PT, khususnya yang negeri, menurut Darmaningtyas, tidak semua PTN di Indonesia tidak bermutu. Justru sebaliknya, banyak PTN Indonesia yang memiliki kualitas baik.
"Buktinya ketika lulusannya melanjutkan program master dan doktor ke luar negeri di negara-negara maju, mereka langsung dapat mengikuti perkuliahan tanpa harus mengalami matrikulasi terlebih dahulu. Bahkan banyak di antara mereka yang kemudian direkrut menjadi dosen di sana," ujar Darmaningtyas.
Sementara itu, apabila ada PT yang tidak berkualitas, Darmaningtyas mengatakan, itu bukan karena mutu dosen Indonesia rendah, melainkan lantaran negara memberikan anggaran terbatas bagi dosen untuk melakukan penelitian dan cenderung memperumit administrasi.
Rumitnya administrasi itulah yang kemudian mengakibatkan dosen kehilangan fokus pada substansi risetnya. "Orang takut berkreativitas dan berinovasi karena kuatir salah prosedur dan akhirnya dituduh korupsi. Misal, Dahlan Iskan (kasus inovasi mobil listrik), sebagai korbannya adalah preseden buruk untuk berinovasi," tuturnya.
Menurut Darmaningtyas, daripada negara mendatangkan dosen atau rektor dari negara asing lebih baik pemerintah memberikan otonomi keuangan kepada pengelola kampus agar tidak terjebak pada urusan administratif keuangan.
"Yang diperlukan bukan mendatangkan dosen dan rektor asing, tapi mengubah UU Keuangan Negara yang ramah untuk layanan publik," katanya.
Sebagai alternatif meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, ia menyarankan agar pemerintah lebih baik memanggil kembali diaspora Indonesia yang kini tinggal di luar negeri untuk pulang dan memberikan kesempatan kepada mereka guna berekspresi dan berinovasi di Indonesia.