Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengakui komposisi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang diisi oleh tokoh-tokoh yang mempunyai integritas tinggi ihwal pemberantasan korupsi. Namun demikian, dia menilai lima anggota Dewas KPK itu merupakan sebuah jebakan.
Artinya, kata dia, dengan kehadiran tokoh-tokoh berintegritas tersebut, maka seolah-olah dirasa sudah cukup bagi masyarakat untuk menyetujui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Kita hanya terpaku pada pesona para personel Dewas (Dewan Pengawas) yang orangnya cukup berintegritas. Tetapi ini justru bisa menjadi jebakan batman, seolah kita setuju pada perubahan UU KPK yang menempatkan KPK bukan lagi sebagai lembaga independen, tetapi di bawah subordinasi eksekutif atau presiden," kata Fickar kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (23/12).
Menurut dia, tugas dan fungsi Dewan Pengawas KPK yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tidak begitu jelas. Selain itu, Fickar juga menilai status Dewan Pengawas KPK itu juga tidak diterangkan lebih detail dalam regulasi baru itu.
"Di mana, dewan pengawas bukan penegak hukum. Tetapi cawe-cawe urusan projusticia penyidik dan penuntut di KPK," tutur dia.
Karena itu, Fickar menekankan, persoalan mendasar akibat berlakunya undang-undang KPK hasil revisi itu ialah hilangnya independensi lembaga antirasuah itu untuk menangani sejumlah kasus korupsi.
"Jadi, masalah yang paling urgen itu sebenarnya KPK tetap menjadi lembaga penegak hukum yang independen. Bisa menangani korupsi baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif," ujar Fickar.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah menunjuk lima orang untuk mengisi jabatan sebagai Dewan Pengawas KPK. Kelima orang tersebut adalah Tumpak Hatorangan Panggabean, Syamsuddin Haris, Artidjo Alkostar, Albertina Ho, dan Harjono.
Ketua Dewan Pengawas KPK, Tumpak Hatorangan, mengatakan dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Pengawas KPK tidak akan mencampuri teknis perkara yang ditangani lembaga penegak hukum tersebut.
"Nanti akan kami samakan apa yang dikerjakan oleh pimpinan KPK. Kami lakukan pengawasan, tapi jangan lupa kami bukan penasihat, bukan. Kami tidak akan mencampuri teknis perkara yang dilakukan KPK," kata Tumpak.
Mantan pimpinan KPK 2003-2007 itu pun mengaku tidak ada arahan khusus dari Presiden Jokowi terkait dengan tugasnya. Presiden Jokowi, disebutnya, hanya memberikan imbauan secara umum untuk menegakkan pemberantasan korupsi.
Caranya, kata Tumpak, dengan melakukan enam tugas Dewas sebagaimana Pasal 37 UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK. Pertama, mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Kedua, menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.
Ketiga, menerima laporan kalau ada dugaan pimpinan atau pegawai yang melanggar kode etik. Keempat, melakukan persidangan terhadap orang yang melakukan dugaan adanya pelanggaran UU ataupun pelanggaran kode etik.
Kelima, memberikan persetujuan atau tidak atas penyadapan dan penggeledahan dan penyitaan. Terakhir, mengevaluasi kinerja KPK selama satu tahun dan melaporkannya ke Presiden, DPR dan BPK.