Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (P-BHACA) memberikan pernyataan terkait penetapan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Nurdin Abdullah, sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diduga menerima suap dan gratifikasi Rp5,4 miliar.
BHACA mengaku terkejut atas kasus yang menimpa peraih penghargaan dari BHACA pada 2017 itu, saat menjabat Bupati Bantaeng.
"P-BHACA sangat terkejut dan menyesalkan perkembangan yang terjadi," kata Ketua Dewan Pengurus P-BHACA Shanti L. Poesposoetjipto dalam keterangan resmi, Selasa (2/3).
Shanti menuturkan, Nurdin menerima penghargaan dari BHACA atas upayanya menumbuhkembangkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan memberantas korupsi. Selain itu, menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, kejujuran, dan independensi.
Menurut Shanti, penghargaan BHACA merupakan ajang penganugerahan bagi insan Indonesia yang dikenal oleh lingkungan terdekatnya sebagai pribadi-pribadi yang bersih dari praktik korupsi. Selain itu, tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya, menyuap atau menerima suap.
"Dan berperan aktif memberikan inspirasi atau mempengaruhi masyarakat atau lingkungannya dalam pemberantasan korupsi, serta diharapkan menjadi panutan gerakan anti-korupsi," ujarnya.
Apabila di kemudian hari terbukti terjadi penyelewengan terhadap nilai-nilai tersebut, kata Shanti, maka kebijakan P-BHACA adalah me-review kembali penganugerahan yang telah diberikan. Hal ini, berlaku juga untuk Nurdin.
"Oleh sebab itu, Dewan Pengurus P-BHACA akan mengevaluasi secara internal melalui proses due diligence yang berlaku di P-BHACA, di mana penarikan kembali sebuah award memerlukan proses yang tidak kalah teliti dari penganugerahannya," katanya.
Shanti mengatakan, P-BHACA akan terus mengikuti proses hukum Nurdin yang sedang berlangsung dan menghormatinya. Dia juga memastikan pihaknya mendukung upaya KPK dalam memberantas korupsi.
Adapun Nurdin bersama Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang atau PUTR Sulsel, Edy Rahmat, dan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto, ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan itu usai operasi tangkap tangan pada Jumat (26/2) malam hingga Sabtu (27/2) dini hari.
Ketiganya, terjerat kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di Pemerintah Provinsi Sulsel tahun anggaran 2020-2021.
Dalam kasusnya, KPK menduga Nurdin menerima Rp5,4 miliar. Rinciannya, diduga dari Agung Rp2 miliar yang diberikan melalui Edy dan sisanya diterka berasal dari kontraktor lain sebanyak tiga kali, yakni akhir 2020 Rp200 juta, awal Februari 2021 Rp2,2 miliar, dan pertengahan Februari 2021 Rp1 miliar.
Sebagai penerima, Nurdin dan Edy diterka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebagai pemberi, Agung disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.