Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) membeberkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di pabrik mobil PT Sokonindo Automobile atau DFSK Indonesia. PPHK tersebut dilakukan secara sepihak terhadap 47 orang pekerja.
Presiden FSPMI, Riden Hatam Aziz, menyebut dari 47 orang yang terkena PHK, tujuh di antaranya merupakan pengurus serikat pekerja.
“Bukti bahwa DFSK melakukan PHK secara sepihak, saat ini ke-47 orang buruh yang di PHK melakukan penolakan terhadap PHK yang dilakukan oleh perusahaan,” kata Riden dalam keterangan resminya, Sabtu (16/4).
Dia menyampaikan, kasus ini bermula pada 31 Maret 2022, para buruh yang saat itu masih bekerja dikumpulkan oleh manajemen dan diinformasikan terkena PHK. Padahal, sebelumnya perusahaan tidak pernah merundingkan permasalahan ini dengan pihak serikat pekerja maupun pekerja yang di PHK.
“Tahu-tahu mereka dipanggil dan diberitahu sudah di PHK. Kemudian saat itu juga uang pesangonnya di transfer ke rekening buruh yang bersangkutan,” ucap Riden.
Menurut Riden, ini menunjukkan sikap arogan pihak perusahaan. Sekaligus, semakin membuktikan jika PHK dilakukan secara sepihak.
Sesuai aturan yang berlaku, kata Riden, semua pihak dengan segala upaya harus mencegah agar tidak terjadi PHK. Jika kemudian PHK tidak bisa dihindari, maka maksud dan tujuan PHK wajib dirundingkan dengan serikat pekerja.
"Jika dalam perundingan itu tidak tercapai kesepakatan, maka PHK hanya bisa dilakukan setelah mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial,” tutur Riden.
Dalam proses tersebut, tambahnya, perusahaan masih berkewajiban membayar upah buruh seperti biasa. Namun, dalam kasus ini pihak perusahaan langsung mentransfer uang pesangon senilai 0,5% dari gaji para buruh.
Ditambahkan Riden, efisiensi harus diartikan secara benar oleh perusahaan, yakni melakukan penghematan. Bukan dijadikan kesempatan melakukan PHK anggota dan pengurus serikat pekerja.
Dalam hal ini, Menteri Tenaga Kerja pernah mengeluarkan surat edaran untuk mencegah PHK akibat efisiensi yang terlebih dahulu dilakukan adalah mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; mengurangi shift; membatasi/menghapuskan kerja lembur; mengurangi jam kerja; mengurangi hari kerja; meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; dan memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
“Tetapi yang dilakukan DFSK justru secara sepihak melakukan PHK terhadap karyawan tetap. Padahal di sana masih banyak buruh kontrak dan outsourcing,” ujar Riden.
Terpisah, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK FSPMI) Ranto Afrianto menilai, PHK yang dilakukan perusahaan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan serikat pekerja, konpensasi yang diberikan tidak sesuai dengan ketentuan.
"Pun perusahaan tidak pernah menunjukkan laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit oleh akuntan publik independent yang memperlihatkan sedang merugi selama dua tahun berturut-turut,” tuturnya.
Dengan tidak didahului perundingan dengan serikat pekerja, FSPMI menduga jika perusahaan ingin menghilangkan keberadaan serikat pekerja di pabrik mobil untuk pasar domestik dan eksport tersebut.