Kasus personel kepolisian kedapatan mengonsumsi narkotika kembali berulang. Teranyar, 5 personel Polri ditangkap karena kedapatan mengonsumsi narkotika di Cimanggis Depok. Ironisnya, para personel yang terjerat kasus itu berasal dari direktorat reserse narkoba.
Mereka ialah Briptu FAR, Briptu IR, Brigadir DW, Briptu FQ, dan Brigadir PR. Empat orang bertugas di Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya dan seorang lainnya di Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Timur.
Pada saat yang bersamaan, Polres Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, juga tengah mengusut kasus penyalahgunaan narkotika yang diduga dilakukan personel Polsek Padamaran berinisial Briptu L. Tersangka diduga menggunakan sabu.
Beberapa tahun lalu, publik juga sempat digegerkan oleh kasus jual-beli barang bukti narkoba yang menjerat mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa. Di persidangan, jenderal kepolisian bintang dua itu terbukti menerima keuntungan dari penjualan narkoba jenis sabu senilai SGD 27.300 atau setara dengan Rp 300 juta.
Pada 2023, Teddy divonis penjara seumur hidup oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara juga ikut terjerat dalam kasus tersebut dan divonis dengan hukuman 17 tahun penjara.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai penyalahgunaan narkoba di lingkup kepolisian terjadi karena sistem pengawasan yang lemah. Para personel Polri, terutama yang bertugas di reserse narkoba, cenderung punya akses yang terbuka terhadap barang bukti.
"Karena sistem pengawasan yang lemah, anggota polisi yang sebelumnya tak terlibat dalam kejahatan narkoba bisa jadi berubah. Niat jahat itu hanya faktor kecil yang memicu kejahatan. Makanya, upaya preventif mencegah kejahatan oleh kepolisian tak hanya berlaku bagi masyarakat, tetapi juga harus ke internal organisasi juga," ucap Bambang kepada Alinea.id, Jumat (11/5).
Menurut Bambang, berulangnya kasus-kasus narkotika yang menjerat Polri menunjukkan lemahnya pengawasan dan kontrol. Di lain sisi, efek jera juga tidak timbul lantaran sanksi tegas jarang diberlakukan bagi personel kepolisian yang terlibat tindak kriminal, termasuk penyalahgunaan narkoba.
Seharusnya, anggota polisi yang melakukan pelanggaran berat seperti menyalahgunakan narkoba selayaknya disanksi serius dengan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Sistem kontrol, kata Bambang, harus berlaku kepada semua anggota Polri, mulai dari yang berpangkat rendah hingga perwira tinggi.
"Makanya harus dibangun sistem kontrol dan pengawasan untuk memastikan moral dan integritas mereka tetap ditegakkan. Di sisi organisasi, kalau sistem kontrol dan pengawasannya berjalan, atasan langsung dari oknum pelanggar tersebut juga harus ditindak karena tak mampu melakukan pengawasan yang baik," ucap Bambang.
Bambang menjelaskan kepolisian sudah menerbitkan Perkap Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri. Pada beleid itu sudah dirinci tanggung jawab atasan di institusi Polri dalam mengawasi tindak-tanduk anak buah mereka.
"Harusnya dilaksanakan dengan konsisten. Bila tidak dilaksanakan, dampaknya penangkapan-penangkapan oknum yang melanggar cenderung insidentil saja. Tanpa ada perbaikan yang lebih sistematis, pelanggaran hukum terkait narkoba akan terus berulang," ujar Bambang.
Di lain sisi, Polri juga harus memperketat akses penyimpanan barang bukti narkoba. Harus ada sistem majamenen yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. "Sanksi bagi personel yang bertugas di tempat penyimpanan bila ada penyalahgunaan barang bukti juga harus diterapkan," kata Bambang.
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Josias Simon sepakat maraknya kasus penyalahgunaan narkotika yang menjerat personel Polri karena mudahnya akses terhadap barang bukti. Menurut dia, prosedur yang tak ketat memudahkan personel "menyalahgunakan" barang bukti sitaan.
"Pihak yang sering bersentuhan dengan penanganan narkoba justru menjadi rawan bila tidak dilakukan sesuai aturan dan prosedur yang benar. Langkah sesuai aturan, pengawasan internal (dari atasan atau propam) dan eksternal (lembaga masyarakat semisal Kompolnas)," ucap Josias kepada Alinea.id, Jumat (11/5).
Josias menyebut berulangnya kasus-kasus penyalahgunaan narkotika oleh personel Polri juga mengindikasikan kedekatan oknum-oknum polisi kepada sindikat narkoba.
Bukan tidak mungkin, lanjut Josias, sindikat narkoba telah memakai jasa personel Polri untuk memuluskan aktivitas haram mereka. "Ini dikenal organized crime (kejahatan terorganisir) narkotika," ucap Josias.