Ricuh-rusuh di lapas: Dari tragedi Mako Brimob hingga Novanto vs Nurhadi
Amarah Hery Yusup, 28 tahun, tersulut saat ia diperintah mengambil air untuk mandi oleh salah satu cempiang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas IIA Bandung, Jawa Barat. Sebagai residivis yang sudah biasa keluar masuk penjara, Hery tak terima diperlakukan bak "anak baru".
Adu mulut pun pecah. Di tengah keributan, Hery melayangkan bogem ke arah muka sang kepala kamar. Napi-napi lain mencoba melerai. Namun, Hery "tak terselamatkan". Kepala-kepala kamar lainnya keburu berkumpul. Beramai-ramai, mereka menghajar Hery.
“Habis gue digebukin satu blok. Ada sekitar 20 orang. Ketika digebukin, gue di pojokan cuma bisa ngelindungin kepala doang. Tetapi, saat itu kepala gue bocor, darahnya sudah ngalir sampai pipi,” ucap Hery saat mengisahkan peristiwa yang ia alami pada 2016 itu kepada Alinea.id, Jumat (11/3).
Kepala kamar ialah sebutan bagi penguasa sel. Yang didapuk menjadi kepala kamar biasanya paling ditakuti atau paling senior di antara napi lainnya.
Setelah Hery bersimbah darah, pengeroyokan itu baru berhenti. Hery pun melenggang ke klinik lapas. Melihat luka-luka ekstrem pada sekujur tubuh Hery, dokter klinik kemudian melapor ke petugas lapas.
Oleh sipir, Hery lantas diinterogasi. Hery tak menutup-nutupi peristiwa yang ia alami. Tak lama setelah penyelidikan tuntas, para pengeroyok Hery pun dihukum. "Habis itu, mereka masuk ke selti (sel tikus). Kalau tidak salah itu ada sekitar sebelas orang,” tutur Hery.
Selti merupakan istilah populer di lapas untuk menyebut ruang tahanan super kecil. Ukuran selti di setiap lapas, kata Hery, berbeda-beda. Luas sel khusus untuk menghukum narapidana “bandel” itu lazimnya setara ukuran tubuh orang dewasa.
Kericuhan dan kerusuhan di lapas, menurut Hery, rutin terjadi. Tak hanya antar napi, pertikaian juga kerap melibatkan warga binaan dan para sipir. Saat mendekam Lapas Pondok Rajeg Cibinong, Bogor, Jawa Barat pada pertengahan 2014, Hery pernah menyaksikan kericuhan semacam itu.
Ketika itu, Hery menuturkan, ia terbangun karena mendengar suara gaduh. Ia pun bergegas mencari sumber keributan itu. Di salah satu sel, ia menemukan napi kasus terorisme tengah beradu mulu dengan para sipir.
Keributan itu terjadi lantaran para sipir telat membuka pintu sel napi terorisme. Sesuai kesepakatan di Lapas Pondok Rajeg Cibinong, menurut Hery, pintu sel napi teroris "wajib" dibuka sipir sebelum jam salat subuh.
“Tetapi, saat itu pintu sel dibuka jam setengah enam. Mungkin sipirnya lupa atau kesiangan. Nah, di situ napi teroris ngamuk karena enggak dibukain pas mau salat subuh. Sipir enggak ada yang berani. Habis itu sipir ditendangin,” imbuh mantan napi kasus narkoba tersebut.
Ketika itu, Hery hanya jadi penonton. Ia tak berani melerai lantaran takut salah langkah. Apalagi, napi terorisme sudah dianggap warga binaan kelas "dewa" di lapas itu.
“Sipir saja tidak berani dengan narapidana terorisme. Saat itu saja, sipir ditendangin. Dijorokin diam saja. Bahkan diancam, 'Jangankan ruangan ini, keluarga kamu mau mati semua saya bom.’ Gitu, diam saja," tutur Hery.
Bambang Sulistyo, mantan napi yang sudah tiga kali keluar-masuk bui, membenarkan kericuhan dan kerusuhan di lapas merupakan hal yang rutin terjadi. Menurut dia, kericuhan kerap berpangkal dari persoalan-persoalan personal yang dialami napi selama dibui.
Bambang mencontohkan peristiwa kericuhan yang terjadi saat dia mendekam di Lapas Kelas IIA Yogyakarta pada 2012. Ketika itu, lapas tersebut kedatangan penghuni baru yang sebelumnya berprofesi sebagai personel kepolisian.
"Ya, namanya polisi, kan, dibenci sama narapidana. Informasi penangkapan itu sudah diketahui sama anak-anak. Jadi, ketika sudah masuk ke sel, hancur sudah itu orang digebukin,” ucap Bambang saat dihubungi Alinea.id, Jumat (11/3).
Selain persoalan personal, menurut Bambang, lapas juga mudah "meledak" lantaran eksistensi geng, kubu, atau kelompok tahanan berbasis etnis atau kekerabatan. Geng-geng itu biasanya tak pernah akur dan anggotanya rutin bikin ulah.
“Jadi, rumit untuk diselesaikan, seperti mata rantai yang tidak terputus. Kalau waktu saya di Yogyakarta itu, ada etnis Solo, Surabaya, Yogyakarta. Mereka ini saling sentimen satu sama lain,” kata Bambang.
Ihwal pemicu keributan di dalam lapas yang melibatkan sipir, kata Bambang, terjadi akibat keterbatasan sumber daya. Menurutnya, minimnya personel yang menambah beban kerja pengawasan membuat para sipir emosinya kerap tak stabil.
“Saya pernah ngobrol sama salah satu sipir waktu saya di Yogyakarta itu, kata dia, solusinya, ya, ditambah gajinya,” imbuh pria berusia 49 tahun itu.
Persoalan kesejahteraan itulah, kata Bambang, yang menyebabkan banyak oknum sipir berperilaku lancung, semisal menjual izin keluar ruang tahanan hingga jualan kebutuhan pokok bagi napi.
"Saya perhatikan, (sipir) di sana (Yogyakarta) itu rata-rata punya mobil karena punglinya di sana itu kencang," ungkap Bambang.
Motif ricuh-rusuh di lapas
Kasus-kasus kericuhan, keributan, dan kerusuhan memang terbilang kian lumrah. Hasil riset Alinea.id di media daring sepanjang 2017 hingga 12 Maret 2022, menemukan ada 11.935 artikel yang berkaitan dengan kerusuhan dan kericuhan di lapas. Total, terekam sebanyak 99 kasus kerusuhan yang terjadi selama periode itu.
Kericuhan teranyar terjadi Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, awal Maret lalu. Keributan melibatkan kubu napi yang "dipimpin" mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) dan kubu pimpinan eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Penyebab keributan terbilang sepele. Sebagai orang lama, kubu Setnov merasa terganggu dan tidak dihormati oleh kubu Nurhadi. Nurhadi disebut-sebut tidak melapor ke Setnov sejak awal masuk ke Lapas Sukamiskin.
Salah satu peristiwa kerusuhan yang paling menyita perhatian publik terjadi pada Mei 2018 di Rutan Mako Brimob, Depok. Kerusuhan bermula saat seorang napi teroris mengamuk karena makanan titipan keluarganya tak sampai ke tangan dia. Keributan menjalar dan memicu kerusuhan hingga 36 jam. Lima polisi dan satu napi tewas dalam peristiwa tersebut.
Hasil riset Alinea.id juga menemukan sejumlah lapas dan rutan yang berulangkali jadi venue kerusuhan dalam lima tahun terakhir, semisal lapas-lapas Provinsi Aceh, Jambi, dan Papua.
Setidaknya ada enam pemicu utama kericuhan dan kerusuhan di lapas yang terindetifikasi. Pertama, terkait penegakan disiplin. Di sejumlah lapas narkotika, misalnya, kericuhan dipicu penolakan para napi terhadap gelaran razia para sipir.
Kedua, bentrok antara sesama napi atau antara napi dengan sipir. Bentrok lazimnya terjadi karena dipicu pengeroyokan terhadap narapidana baru, pertikaian perebutan kekuasaan, hingga adu mulut. Keributan antara napi dan sipir biasanya terjadi akibat petugas menganiaya warga binaan atau sebaliknya.
Ketiga, kerusuhan karena kesalahan pengelolaan rutan. Pemicu keributan ini akibat narapidana tidak puas atas kinerja kepala lapas atau menentang kebijakan lapas. Keributan juga terjadi akibat napi yang gusar karena banyaknya pungli, makanan tidak layak, atau kepala lapas yang melakukan pelecehan seksual.
Faktor keempat penyebab pertikaian ialah napi menolak dipindahkan. Salah satu kasus yang menyita perhatian terjadi di Lapas Kelas IIA Banda Aceh pada Januari 2018 silam. Dalam kasus itu, narapidana bentrok dengan petugas karena menolak dimutasi. Di lapas itu, sang napi dilaporkan telah membangun jaringan bisnis narkotika. Kericuhan menyebabkan kebakaran lapas.
Kelima, kerusuhan terjadi saat napi berupaya kabur dari lapas. Dalam sejumlah peristiwa kerusuhan, para napi mencoba kabur dengan cara melawan petugas dan membakar blok tahanan. Terakhir, kerusuhan di lapas dipicu kekecewaan napi yang tidak mendapat remisi asimiliasi Covid-19.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Choky R Ramadhan menilai kerusuhan di lapas rutin terjadi lantaran hak-hak dasar kerap napi tak bisa dipenuhi negara. Hak-hak itu berupa makanan yang layak, kesehatan, hingga program kegiatan produktif dari lapas.
Di lain sisi, pemenuhan hak-hak itu malah dijadikan ladang bisnis oleh oknum petugas lapas. Ia mencontohkan kasus penyelewengan jabatan yang dilakukan eks Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein pada 2018. Ketika itu, Wahid dilaporkan menjual fasilitas-fasilitas mewah kepada napi koruptor di lapas yang ia kelola.
“Jadi, sudah hak-hak dasar (narapidana) yang dijamin dengan UU tidak dipenuhi, lalu kemudian mereka terpaksa mengeluarkan uang untuk mendapatkan tambahan uang untuk mendapat hak tersebut. Itu mungkin salah satu faktor kericuhan,” ucap Choky saat dihubungi Alinea.id, Kamis (10/3).
Ketidakmampuan negara memenuhi hak-hak warga binaan merupakan buntut dari persoalan klasik di lapas, yakni kelebihan kapasitas penghuni. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) KemenkumHAM per Sabtu (12/3), menunjukan angka kelebihan kapasitas penghuni lapas kini mencapai 177%. Dari kuota 132.107 orang, tercatat ada 270.134 napi yang menghuni seluruh lapas di Indonesia.
Meski begitu, Chokky menilai penambahan kapasitas dan anggaran untuk bukan solusi utama untuk membenahi lapas. Menurut dia, akan lebih tepat jika pengurangan kapasitas dilakukan dengan mengurangi hukuman penjara, semisal untuk pelaku pidana kasus narkotika.
“Nah, ketika jumlah orang di lapas berkurang, mungkin anggaran atau resources tadi bisa digunakan lebih optimal lagi. Entah itu untuk makan, atau program-program, dan lain sebagainya. Pengguna narkotika itu kan treatment-nya bisa saja tidak hanya penjara, tetapi direhabilitas dan segala macam," ucap Choky.
Belajar dari Belanda
Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar sepakat perlunya pengurangan kapasitas untuk mencegah rusuh berulang di lapas. Ia menilai hal itu bisa dilakukan pemerintah dengan mencontoh negara-negara tetangga yang tidak lagi memenjarakan pengguna narkotika.
Dio mengatakan selama ini aparat penegak hukum kerap hanya menggunakan Pasal 112 hingga Pasal 115 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam menggarap kasus narkoba. Kedua pasal itu mengatur masa hukuman pidana penjara dan besaran denda bagi orang yang memiliki, menguasai, atau menerima narkotika.
“Pertanyaannya kalau pengguna narkotika pasti memiliki (narkoba) kan. Nah, ini kan tafsirnya rentan. Nah, itu jadi masalah sehingga akhirnya orang rentan dipenjara ketika kasus narkotika,” kata Dio saat dihubungi Alinea.id, Kamis (10/3).
Padahal, menurut Dio, ada alternatif hukuman lainnya bagi pengguna narkoba yang tertera pada pasal 127 UU Narkotika. Tergantung kadar kejahatannya, pengguna narkoba tidak harus dibui atau didenda dan bisa hanya direhabilitasi.
Mayoritas penghuni lapas saat ini oleh narapidana tindak pidana narkotika. Data Ditjen PAS KemenkumHAM menunjukkan narapidana narkotika menduduki peringkat pertama penghuni lapas dengan total 135.919 orang, diikuti narapidana umum sebanyak 128.354 orang, dan narapidana korupsi dengan total 4.769 orang.
Dio mengusulkan Indonesia mencontoh Belanda. Sejak awal 1990-an, menurut Dio, Belanda telah merilis sejumlah kebijakan strategis untuk untuk mengurangi kelebihan kapasitas penghuni penjara. "Pertama, dekriminalisasi. Mereka dekriminalisasi beberapa isu, seperti pidana narkotika da prostitusi," jelas dia.
Kedua, lanjut Dio, Belanda menggunakan alternatif pemidanaan untuk pelaku kejahatan yang tidak berdampak besar. Ketiga, Kejaksaan Belanda memberlakukan asas oportunitas untuk pelaku kejahatan tertentu dan tidak berdampak besar.
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, asas oportunitas ialah asas hukum yang memberikan wewenang bagi Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan demi kepentingan umum.
“Nah, itu harus direvisi KUHAP kita untuk mengakomodir pidana lain atau mekanisme dropcast di KUHAP. Nah, dari situ penegakan hukum kita tidak usah fokus pada kejahatan minor, tetapi kasus kejahatan besar seperti terorisme,” ujar Dio.