Di balik kemilau Glow: Ironi komersialisasi di Kebun Raya Bogor
Sembari menenteng gulungan selang, Usep Munandar--bukan nama sebenarnya--bergegas menuju taman yang berada tepat di depan Monumen Tugu Dua Abad, Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, sekitar pukul 15.30 WIB, Senin (27/9) petang itu. Sesampainya di sudut taman, Usep lantas menancapkan lubang pada ujung selang ke moncong sebuah keran air.
Usai menyalakan keran dan memastikan selang terpasang, petugas honorer yang sudah bertahun-tahun bekerja di Kebun Raya Bogor itu mengarahkan pancuran air ke arah tanaman hias yang berjarak sekitar satu meter di depannya. Merawat tanaman-tanaman itu menjadi salah satu rutinitas Usep saban hari.
“Saya di sini statusnya pegawai honorer dari pihak ketiga. Tugasnya hanya mengurus tanaman hias dan pembibitan di sini,” ujar Usep saat berbincang dengan Alinea.id di sela-sela rutinitas pekerjaannya.
Pihak ketiga yang dimaksud Usep yakni PT Mitra Nusantara Raya (MNR). Sejak 2019, PT MNR diajak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk mengelola Kebun Raya Bogor. Saat ini, LIPI telah bubar dan bergabung dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Usep mengaku awalnya ia adalah petugas honorer Kebun Raya Bogor. Sejak kerja sama PT MNR dan LIPI diteken, Usep dialihkan menjadi pegawai MNR. Beberapa rekan Usep yang kurang beruntung kontraknya tak lagi diperpanjang.
“Banyak (petugas honorer) yang dikurangi. Sekarang yang ngurus pembibitan dan tanaman hias saja cuma saya dan empat orang teman saya. Hanya berlima untuk mengurus 87 hektare Kebun Raya Bogor ini,” tutur pria berusia 48 tahun itu.
Meskipun kerjanya tambah berat, Usep bersyukur masih bisa menghasilkan duit saat pandemi. Apalagi, ia mesti menghidupi seorang istri dan dua orang anak. Ia mengaku selalu khawatir nasibnya bakal berakhir seperti rekan-rekannya yang lain yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain Usep, sejumlah pegawai Kebun Raya Bogor tampak tengah beraktivitas menata area taman. Sejumlah lampu hias, sebuah layar, dan deretan pagar hias dari batang pohon bambu telah tertata rapi di sejumlah sejumlah sudut kebun raya yang resmi berdiri pada 18 Mei 1817 itu.
Kepada Alinea.id, Usep menunjukan sebuah proyektor sebesar layar televisi 14 inci yang telah terpasang di sudut area taman Kebun Raya Bogor. “Nanti di sini akan ada pertunjukan lampu hias. Di sini sudah ada dua kamera (proyektor),” ucap dia.
Peralatan itu disiapkan para petugas Kebun Raya Bogor untuk atraksi sinar lampu bertajuk Glow. Atraksi wisata malam itu rencananya bakal terbuka untuk publik saban akhir pekan. “Kabarnya Glow dibuka awal bulan depan,” terang Usep.
Rencana pembukaan Glow di Kebun Raya Bogor tak semulus yang dikatakan Usep. Atraksi anyar yang digagas oleh PT MNR itu ditolak oleh lima mantan kepala Kebun Raya Bogor, yakni Made Sri Prana, Usep Soetisna, Suhirman, Dedy Darnaedi, dan Irawati.
Di laman Change.org, mereka telah meluncurkan petisi bertajuk “Selamatkan Kawasan Konservasi dan Cagar Budaya Kebun Raya Bogor" untuk memprotes komersialisasi di kebun raya. Hingga Selasa (28/9) pukul 23.10 WIB, setidaknya sudah 13.917 orang yang menandatangani petisi itu.
Dalam petisi itu, mereka menolak proyek Glow lantaran dapat mengancam keberlangsungan ekosistem hewan dan tanaman koleksi di Kebun Raya Bogor. Wisata malam yang mengandalkan sorotan lampu hias dikhawatirkan mengganggu kehidupan hewan dan serangga penyerbuk.
Komersialisasi salah arah?
Kepala Kebun Raya Bogor periode 1997-2003, Dedy Darnaedi menilai proyek Glow melebihi "batas" komersialisasi di Kebun Raya Bogor. Selama lebih dari dua abad berdiri, menurut Dedy, belum pernah ada pihak yang berani mengomersialisasi Kebun Raya Bogor seperti itu.
"Image ke masyarakat luas bahwa Kebun Raya Bogor berbeda dengan tempat rekreasi. Selama ini tidak ada yang namanya merek bank, merek rokok, merek komersialisasi di dalam Kebun Raya Bogor. Semua pimpinan mengamanatkan bahwa kebun raya ini lembaga bergengsi,” tutur Dedy, saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (26/9).
Menurut Dedy, komersialisasi dalam bentuk atraksi sinar lampu mencoreng marwah Kebun Raya Bogor sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan konservasi. Karena tak sejalan dengan fungsi kebun raya, ia berharap proyek itu dihentikan.
“Marwah kebun raya perlu dijaga. Jangan bikin Glow di dalam. Jangan usir serangga di dalam. Jangan mengusik keheningan malam kebun raya. Itu nilai, menurut saya, yang sangat mahal dan harus kita jaga,” terang Dedy.
Dedy menegaskan tidak antikomersialisasi. Menurut dia, sejak dulu sudah ada kegiatan komersialisasi di kebun raya. Ia mencontohkan Kebun Raya Bogor yang pernah dijadikan tempat aklimatisasi tumbuhan-tumbuhan komersial pada era kolonial Belanda.
"Seperti teh, kina, kopi, kelapa sawit, didatangkan untuk bisnis. Itu komersialisasi oleh Belanda. Tetapi, itu komersialisasi yang sifatnya green bussiness. Bisa enggak kita mempertahankan green bussiness di kebun raya? Tidak ada hingar-bingar di dalam, tetapi riset serius di dalam laboratorium," terangnya.
Pendapat serupa diutarakan Kepala Kebun Raya Bogor periode 1981-1983, Made Sri Prana. Sebagai lembaga milik pemerintah dan pusat penelitian, ia memandang Kebun Raya Bogor seharusnya tidak dikomersialisasi. "Seperti sekolah negeri, mestinya digratiskan,” tutur Made.
Made menegaskan ia bukannya menolak inovasi. Namun, inovasi di Kebun Raya Bogor seyogyanya mengikuti rambu-rambu tertentu. Ia mencontohkan perlunya koleksi-koleksi tanaman di kebun raya didigitalisasi untuk memudahkan pengunjung.
"Silahkan pakai yang terbaik. Tetapi, kalau (inovasi yang mengikuti) perkembangan zaman itu ditujukan untuk kesenangan pengunjung, itu sebaiknya jangan dilakukan. Jadi, harus ada rambu-rambu dan rambu-rambu itu diletakkan dan harus dipahami oleh mitra," ucap Made.
Dilansir dari situs resminya, Glow diperkenalkan sebagai atraksi taman botani malam pertama dan terbesar di Indonesia. Setidaknya ada enam zona di Glow Kebun Raya Bogor, yakni Taman Pandan, Taman Meksiko, Taman Akuatik, Lorong Waktu, Taman Astrid, dan Taman Ecodome.
Untuk menjelajahi enam zona itu, pengunjung diperkirakan akan menghabiskan waktu selama sekitar satu jam dengan berjalan kaki. Puluhan atraksi wisata disiapkan untuk menghibur para pengunjung di enam zona itu.
Soal atraksi Glow, Made menegaskan proyek itu minim muatan edukasi dan cenderung hanya mengejar cuan. "Kalau kita memperdengarkan, memainkan cahaya, dan lain-lain, saya kira itu jauh daripada jiwa kebun raya," terang Made.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko berpendapat kekhawatiran para mantan kepala Kebun Raya Bogor itu tidak beralasan. Menurut dia, atraksi Glow tidak akan mengganggu tanaman dan aktivitas hewan nokturnal di Kebun Raya Bogor.
"Kekhawatiran tersebut kurang beralasan. Terlebih, untuk kebun raya kota seperti Kebun Raya Bogor yang ada di tengah keriuhan dan gemerlap kota," ujar Handoko.
Kritikan publik terhadap komersialisasi Kebun Raya Bogor itu sampai ke telinga Wali Kota Bogor Bima Arya. Usai bertemu perwakilan PT MNR dan BRIN, Selasa (28/9) lalu, Bima meminta agar atraksi Glow dihentikan sementara hingga ada kajian dari BRIN dan para pakar.
“Apa pun jawabannya dari BRIN dan IPB, nanti kami komunikasikan lagi dengan PT MNR. Prinsipnya, kami ingin memastikan semuanya berjalan sesuai karakter Kota Bogor dan potensi yang ada di KRB,” kata Bima seperti dikutip dari Antara.
Tanaman koleksi telantar
Tak hanya soal komersialisasi, sumber Alinea.id di internal Kebun Raya Bogor mengatakan masuknya pihak swasta dalam pengelolaan kebun raya melahirkan beragam persoalan. Salah satunya ialah ancaman terhadap kelestarian beragam tanaman koleksi.
Menurut dia, perawatan terhadap tanaman koleksi kini terbengkalai karena minimnya personel dan anggaran. Pasalnya, sebagian besar tenaga honorer Kebun Raya Bogor yang bertugas untuk merawat koleksi kini beralih menjadi pegawai PT MNR.
Pegawai honorer PT MNR, kata sang sumber, hanya ditugasi untuk menjaga kebersihan kebun raya. Perawatan tanaman koleksi dibebankan pada teknisi dan pegawai Kebun Raya Bogor yang tersisa. Teknisi adalah sebutan bagi aparatur sipil negara (ASN) yang ditugasi untuk merawat tanaman koleksi.
“Dulu, waktu masa saya sekitar 200 orang teknisi dan honorer (Kebun Raya Bogor). Tetapi, honorer yang dialihkan semua ke MNR itu ada 150-140 orang. Itu termasuk yang urus kebersihan, tidak koleksi semua,” kata sumber Alinea.id, Minggu (26/9).
Menurut dia, beban kerja mereka kian berat lantaran banyak teknisi yang telah pensiun. Sejak beberapa tahun terakhir, tidak ada pengganti untuk teknisi yang pensiun lantaran Kebun Raya Bogor tidak pernah membuka rekrutmen baru. “Nah, ini yang, menurut kita, menjadi ancaman terhadap keberlangsungan koleksi itu,” ucap dia.
Eks Kepala Kebun Raya Bogor Irawati membenarkan perawatan tanaman koleksi mulai terbengkalai. Saban pekan, Irawati masih rutin berkunjung ke Kebun Raya Bogor untuk merawat tanaman-tanaman koleksi di sana.
“Saya ini sering tanya (teknisi), 'Kenapa enggak dibersihkan di bagian koleksi?' Enggak ada tenaga. 'Kok enggak ada tenaga?' Ya, itu karena biasanya dikerjakan oleh honorer yang sudah beralih ke MNR,” kata Irawati saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (26/9).
Menurut Irawati, kerusakan terhadap tanaman koleksi itu terlihat secara kasat mata. Eks komisaris PT MNR itu mencontohkan layunya sejumlah tanaman anggrek yang disimpan di green house Kebun Raya Bogor karena tidak dirawat secara intensif.
“Nah itu (koleksi) mulai mati-mati. Alasannya enggak ada tenaga, enggak ada obat-obatan. Ini kan kalau semprot (koleksi) harus dua sampai tiga orang. Orangnya cuma ada satu, alat semprotnya enggak ada,” tutur Irawati.
Irawati menyebut salah satu penyebab terbengkalainya perawatan tanaman koleksi karena isi kontrak kerja sama yang tidak jelas antara pihak swasta dan Kebun Raya Bogor. Tanpa merinci, ia menyebut isi kontrak cenderung berat sebelah.
“Kalau dikatakan tidak dipelihara, ya, memang demikian. Menurut saya, tidak fair kalau mereka (PT MNR) memperoleh dana atau uang dari Kebun Raya Bogor, tetapi sama sekali tidak memberi balasan untuk memelihara (koleksi),” imbuh Irawati.
Alinea.id telah berupaya menghubungi Hendra Helmanto selaku Kepala Kebun Raya Bogor saat ini untuk mengklarifikasi terbengkalainya perawatan terhadap tanaman-tanaman koleksi di kebun raya itu. Namun, Hendra menolak berkomentar.
General Manager Corporate Communication and Security PT MNR Zaenal Arifin mengatakan pelaksanaan tugas, penggunaan hak, dan kewajiban PT MNR telah disepakati LIPI melalui nota kesepahaman. Klausul-klausul dalam kontrak kerja sama dirancang sepenuhnya oleh LIPI.
"Ketika menjadi mitra, kami tidak langsung ditunjuk seperti itu, tetapi kita mengikuti beauty contest. Nah, itu kita dipilih November 2019, baru kita persiapan,” terang Zainal saat dihubungi Alinea.id, Rabu (29/9).
Dalam kontrak kerja sama, Zainal mengatakan, PT MNR ditugasi mengelola fungsi kebun raya di sektor pendidikan, edu wisata, dan jasa lingkungan. “Kami hanya operator untuk meningkatkan optimalisasi pelayanan publik. Terkait konservasi dan penelitian, itu tetap ranahnya peneliti dan LIPI. Sampai sekarang seperti itu,” katanya.
Namun demikian, Zainal mengakui tenaga honorer yang dipekerjakan untuk merawat kebun masih terbilang minim. PT MNR masih mempertimbangkan untuk menambah jumlah SDM. "Tetapi, kondisinya saat ini kan masih PPKM (pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat) dan belum normal,” ucapnya.