Di balik raibnya obat sirop dari rak-rak apotek
Setelah menempuh jarak yang lumayan jauh dengan mengendarai sepeda motor dari kediamannya di Tangerang ke sebuah apotek di daerah Kosambi, Jakarta Barat, Hambali tak mendapatkan obat sirop yang ia cari untuk meredakan demam dan pilek anaknya yang berusia empat tahun. Penjaga apotek menjelaskan, obat sirop yang dicarinya kosong karena ditarik distributor resmi sejak sebulan terakhir.
“Tadi niatnya mau beli (obat sirop merek) Vipcol. Tapi kosong. Saya beli (merek) OBH Combi Anak aja deh,” kata Hambali kepada Alinea.id, Rabu (28/12).
Obat sirop kosong
Menurut penjaga apotek itu, Deden, sejak kasus gagal ginjal akut pada anak bergulir menjadi bola liar ke industri farmasi, sejumlah merek obat sirop hilang dari pasaran. Sebab, kata dia, pemerintah lewat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ingin memeriksa kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen gllikol (DEG) pada semua obat sirop.
Kasus gagal ginjal akut pada anak-anak usia 6 bulan hingga 18 tahun terjadi peningkatan pada Agustus hingga Oktober 2022. Ratusan anak meninggal dunia karena penyakit itu. Akhir November 2022, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, kasus ini selesai karena tak ada lagi kasus tambahan.
Seiring penyelidikan, diketahui penyebab gagal ginjal akut pada anak itu adalah obat sirop yang mengandung zat beracun, yakni EG dan DEG yang melebihi ambang batas aman lebih dari 0,1%.
Sejauh ini, polisi sudah menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka, yakni PT Afi Farma, CV Chemical Samudera, PT Tirta Buana Kemindo, CV Anugrah Perdana Gemilang, dan PT Fari Jaya Pratama.
Deden mengatakan, obat sirop yang biasa “mejeng” di rak apoteknya, banyak yang tak jelas kabarnya lantaran distributor tak pernah lagi mengirim produk yang sempat dilarang beredar sementara.
“Bisa jadi mereka (distributor) belum dapat izin beredar di masyarakat sama BPOM atau masih diuji,” ujar Deden, Rabu (28/12).
Konsumen obat sirop juga mengalami penurunan. Bahkan, Deden masih ragu menyarankan obat sirop untuk anak karena ia sendiri belum tahu mana yang aman dikonsumsi.
"Kalau belum jelas apakah sudah diuji aman dari cemaran etilen glikol dan dietilen glikol, kami juga jadi sangsi," kata Deden.
Pasokan obat sirop juga berkurang di toko obat Naga Sakti di Poris, Tangerang, Banten. Sekitar dua bulan lalu, petugas puskesmas setempat sempat melarang sementara penjualan obat sirop untuk anak.
Pemilik toko yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, ada banyak jenis obat batuk sirop yang lenyap dari etalase tokonya karena ditarik distributor dan tak pernah dikirim lagi. Dua contoh merek obat sirop yang raib, yakni Vipcol dan Unibebi.
“Dua produk ini tidak ada kabar sampai sekarang, bisa dijual lagi apa enggak,” katanya, Jumat (30/12).
Ia mengaku, pendapatannya sempat merosot ketika dilarang menjual obat sirop merek apa pun. Hingga kini, meski sudah ada izin menjual kembali beberapa merek obat sirop, ia masih ragu memberikan rekomendasi karena belum mendapat kejelasan dari BPOM soal obat yang tak aman dikonsumsi.
"Saat obat sirop ada masalah karena gagal ginjal akut pada anak, obat herbal yang saya utamakan ke konsumen," ucapnya.
Beredarnya obat sirop yang mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas aman menjadi pukulan telak industri farmasi. Pada 22 Desember 2022, BPOM menjatuhkan sanksi pencabutan sertifikat cara pembuatan obat yang baik (CPOB) cairan oral non-betalaktam dan pencabutan seluruh izin edar produk enam perusahaan farmasi, yakni PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Afi Farma, PT Ciubros Farma, PT Samco Farma, dan PT Rama Emerald Multi Sukses.
Enam perusahaan itu, menurut BPOM, terbukti memproduksi obat sirop atau sediaan cair dengan kadar cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas aman. Akhir Desember 2022, terdapat tambahan 176 obat sirop yang dinyatakan BPOM aman dan bisa kembali beredar, usai melakukan rangkaian uji cemaran EG dan DEG dari 15 hingga 27 Desember 2022.
"Dengan demikian, BPOM menyatakan 508 produk sirop obat dari 49 industri farmasi telah memenuhi ketentuan, dan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai," sebut BPOM dalam keterangan pers yang diterima, Kamis (29/12).
Perlu metode alternatif
Per 15 Desember 2022, ada sekitar 2.400 jenis obat sirop yang mesti diuji BPOM. Hal ini mengakibatkan antrean panjang proses pengujian. Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) meminta industri farmasi dapat mempercepat pengujian mandiri produk jadi obat sirop, demi memastikan ada atau tidaknya EG dan DEG melebihi ambang batas aman.
Menurut Direktur Eksekutif GPFI Elfiano Rizaldi, hasil uji mandiri tersebut akan dilaporkan ke BPOM. Namun, masalahnya tak semua industri farmasi punya alat pengujian mandiri berupa kromatografi gas.
Solusinya, mereka diizinkan melakukan uji mandiri di laboratorium independen. Akan tetapi, diakui Elfiano, hal itu tetap memakan waktu cukup lama, tak bisa hanya dua atau tiga hari.
“Kalau semua industri tadi ke laboratorium independen, ya ngantre juga di situ. Kan punya keterbatasan, seperti di Sucofindo atau Saraswanti (nama laboratorium independen), ya itu semua ngantre juga,” kata Elfiano saat diskusi “Kembalinya Obat Sirop yang Hilang, Jangan Ada EG/DEG di Antara Kita” di Century Park Hotel, Jakarta, Selasa (20/12).
Direktur Produksi dan Supply Chain PT Kimia Farma, Andi Prazos mengakui berkejaran dengan waktu untuk melakukan pengujian produk obat sirop Kimia Farma. Selain menggunakan alat sendiri, untuk mempercepat pengujian, Kimia Farma menggandeng pihak ketiga, yakni Sucofindo.
"Saat ini masih berproses karena banyak bahan yang diuji. Banyak yang mesti diuji sampel segala macam untuk menjamin keamanannya saat beredar di masyarakat," kata Andi, Selasa (27/12).
Meski sudah dibantu pihak ketiga, Andi mengakui masih kelimpungan melakukan pengujian. Sebab, pihak ketiga pun sibuk melayani industri yang tak punya alat pengujian sendiri.
"Karena banyak industri itu memeriksakan dan enggak semua punya alat, ya akhirnya antre," ujar Andi.
Metode yang terlalu rinci—termasuk banyak bahan baku yang mesti diuji detail—menurut Andi, juga membuat mekanisme pengujian menjadi lama. “Untuk menjamin dan publik percaya, ini kita butuh detail,” tuturnya.
Lebih lanjut, Andi menerangkan, belum ada jaminan obat yang dinyatakan lolos uji bisa langsung dijual. Soalnya, ada serangkaian pemeriksaan dokumen alias verifikasi yang rumit di BPOM, yang membuat antrean karena ada ribuan obat yang harus diuji kembali.
“Intinya semua produk kita ya kita uji untuk bisa dirilis dan dilihat hasilnya, apakah ada cemaran yang melebihi ambang batas aman EG dan DEG atau tidak,” kata dia.
“Metode pengujian juga harus disamakan.”
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati memandang, banyaknya produk obat sirop yang mesti diuji sebagai buntut kasus gagal ginjal akut pada anak, telah membuat industri farmasi dan BPOM dalam kondisi darurat. Menurutnya, BPOM perlu merancang metode baru agar tak membuat industri farmasi terancam merugi dan kerja BPOM lebih efisien.
"Karena saya tahu BPOM ini sangat hati-hati untuk mengambil kebijakan kaitannya dengan produk ini,” kata dia, Rabu (28/12).
“Memang saat ini disyaratkan semuanya harus diperiksa, sedangkan fasilitas pemeriksaan terbatas. Cuma kalau tidak diperiksa, BPOM akan menjadi sorotan juga.”
Zullies mengatakan, tak ada salahnya mencoba metode baru yang lebih tepat dalam kondisi darurat guna memangkas waktu. Misalnya, melakukan pengujian dengan hanya mengambil data perwakilan yang proporsional untuk semua kandungan bahan obat sirop yang sama, dengan mencampurnya untuk mengetahui kadar EG dan DEG masing-masing.
“Misalkan ada 30 drum, diambil perwakilan untuk mewakili 30 drum itu. Nah, itu dicampur kemudian diukur,” ujarnya.
Jika dari bahan yang telah dicampur kandungan EG dan DEG melebihi ambang batas aman, misal angka 0,15%, maka perlu dilakukan pengujian satu per satu bahan baku untuk memastikan bahan mana yang tidak aman.
Menurut Zullies, metode tersebut masih bisa diterima secara ilmiah dan memangkas waktu, meski belum disepakati regulasi. Hal serupa juga bisa dilakukan terhadap produk obat yang sudah jadi. Ia menjelaskan, dari jumlah obat yang banyak bisa diwakili satu jenis untuk menguji kadar EG dan DEG.
“Misalnya satu bets diwakili satu botol. Nah, kalau ditemukan melebihi kadar, ya baru ditindaklanjuti,” ujarnya.
“Satu botol itu aman, ya aman. Tapi kalau berbahaya, ya sudah, periksa. Itu untuk mengurangi panjangnya waktu pemeriksaan.”
Kendati demikian, Zullies mengatakan, metode yang ia usulkan perlu didiskusikan BPOM dengan industri farmasi dan para ahli. Tujuannya, agar ada kesepakatan dan selaras dengan pedoman CPOB.
"Jadi untuk mempercepat (pengujian, metode) itu bisa dicoba. Tapi tentu usulan ini perlu disetujui oleh BPOM, dengan syarat seperti itu boleh enggak,” tutur dia.