Dialita, senandung merdu dari penyintas 1965
Penderitaan panjang masa silam tergurat di wajah dan tubuh Uchikowati Fauzia, Ketua paduan suara Dialita. Sebagian rambutnya telah memutih, menjadi pertanda usianya yang tak lagi muda.
Paduan Suara Dialita, singkatan dari Di Atas Lima Puluh Tahun, adalah bunyi merdu dari masa lalu. Bunyi yang dipaksa sunyi oleh rezim penguasa seusai 1965. Majalah Tempo pernah salah paham, dan menyebut Dialita sebagai paduan suara yang anggotanya berasal dari perempuan-perempuan mantan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Uchikowati hanya tertawa ketika mengingat-ingat hal itu. Uchi, sapaan akrabnya, meluruskan jika Dialita adalah paduan suara yang digawangi oleh para korban penyintas tragedi 65.
Sebagian besar anggota Dialita adalah perempuan-perempuan yang keluarganya pernah menjadi tahanan politik saat rezim orde baru berkuasa. Dari 25 anggotanya, hanya ada dua orang yang pernah ditahan saat orde baru. Yakni, Utati, yang merupakan ipar dari Pramoedya Ananta Toer dan Mudjiati. Keduanya pernah dipenjara bersama-sama di Bukit Duri.
“Anggota Dialita sewaktu tragedi 65 banyak yang masih anak-anak. Saya sendiri waktu itu masih berusia 13 tahun,” ujar Uchi saat berbincang dengan Alinea, di kediamannya, Pamulang, Tangerang Selatan.
Banyak anggota Dialita yang sudah hidup lebih dari lima dekade. Gagasan awal membentuk Dialita muncul pada tahun 2011. Saat itu, Uchi dan kawan-kawan penyintas tragedi 65 sering mengadakan kegiatan sosial untuk membantu penyintas tragedi 65 lainnya yang sedang dalam kesusahan.
“Awalnya kami patungan untuk mengumpulkan duit dan diberikan kepada para penyintas 65 yang sedang kesusahan,” tuturnya.
Namun, aksi itu kian memberatkan keuangan anggota Dialita. Menjual barang-barang bekas pun sempat menjadi opsi. Hasil penjualannya tentu saja diberikan kepada penyintas 65.
Ide datang tanpa disengaja. Kala tengah melakukan pekerjaan rumah tangga sambil bersenandung, tercetuslah gagasan untuk membuat paduan suara. Namun, niat membuat paduan suara tak selalu berjalan mulus. Dialita tak memiliki lagu sendiri. Ditambah, teknik vokal belum terasah. Saat itu, Dialita hanya menyanyikan lagu nasional dan lagu daerah.
Baru satu tahun kemudian, Dialita menyanyikan lagu-lagu yang pernah hidup di penjara-penjara. Diciptakan oleh mereka yang menjadi korban prahara politik. Saat dipenjara, tak banyak cara bagi tahanan mengekspresikan perasaan. Menulis tak bisa karena alat tulis diharamkan. Lagu kemudian jadi sarana menjaga kewarasan, tempat para tahanan mengadu sekaligus merawat harapan.
Utati dan Mudjiati, dua anggota Dialita yang berjasa mengumpulkan arsip dokumentasi dan menuliskan kembali lagu-lagu dari dalam penjara itu. Karya-karya itu sempat ditunjukkan oleh Utati kepada Uchi, pada tahun 2000. Kala itu, Uchi hanya menyarankan Utati untuk mengumpulkan dan menyimpan saja karya-karya tersebut. “Siapa tahu ada anak-anak muda yang menemukan dan menyanyikannya,” kenang Uchi sambil tersenyum.
Ada salah satu tembang yang kerap dibawakan oleh Dialita, yakni Viva Ganefo. Lagu berbahasa Spanyol ini dikarang oleh Asmono Martodipoero ketika Indonesia menyelenggarakan Games of New Emerging Forces (GANEFO). Awalnya, Uchi mengaku tak tahu makna Viva Ganefo. "Kami senang-senang saja menyanyikannya. Tapi, setelah mencari-cari artinya, akhirnya kami tahu jika lagu ini bentuk perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme,” cerita ibu dua anak itu.
Demi menyanyikan Viva Ganefo, anggota Dialita belajar keras pengucapan bahasa Spanyol yang benar. Anak muda yang mahir berbahasa Spanyol pun didapuk untuk mengajari paduan suara. Anggota juga berlatih pengucapan bahasa Spanyol melalui tutorial yang banyak beredar di Internet.
Suara Dialita, Uchi akui berbeda dengan aktivis penyintas 65 yang sering terlibat aktif dalam diskusi-diskusi dan simposium. Perempuan berusia 66 tahun ini mengatakan Dialita dalam perjalanannya selalu menyuarakan perdamaian. Dialita tak menuntut untuk meminta maaf, karena tuntutan itu telah disuarakan oleh penyintas 65 lainnya.
Uchikowati Fauzia menunjukkan foto kedua orang tuanya setelah keluar dari penjara. (Annisa Saumi/Alinea)
Trauma yang tak pernah hilang
Uchi masih ingat bagaimana ia sangat ketakutan ketika rumah dinas kedua orang tuanya, di Cilacap dikepung oleh massa yang mengamuk setelah peristiwa G30S meledak. Hingga di usianya yang mulai senja ini, Uchi masih ketakutan ketika melihat kerumunan massa. Ia dan keluarganya bisa keluar dan mengungsi dengan selamat ke Purwokerto berkat bantuan polisi.
Di Purwokerto inilah, ayahnya, Djohar Arifin Santoso yang seorang Bupati Cilacap dijemput paksa oleh militer dan dipenjara. Tak sendiri, militer juga menjemput serta ibunya. Uchi, yang saat itu berusia 13 tahun melewatkan peristiwa itu karena berada di rumah neneknya di Kroya, Cilacap. Hanya adik bungsunya yang waktu itu masih berumur 10 tahun yang menyaksikan kedua orang tuanya dijemput militer.
Sejak tragedi itu hidup Uchi menjadi sulit. Anak kedua dari empat bersaudara ini terpaksa putus sekolah lantaran harus bekerja demi membiayai adik-adiknya. Saat itu, hanya Uchi saja yang bisa diandalkan. Kakak perempuannya telah menikah dan tinggal jauh bersama suaminya, sedangkan neneknya telah sepuh dan tidak mampu bekerja.
Baru ketika sepuluh bulan setelah tragedi itu, Uchi mengetahui lokasi penjara tempat kedua orang tuanya ditahan. “Ibu waktu itu ditahan di penjara Bulu, Semarang selama tujuh tahun tanpa pernah diadili,” kenang Uchi.
Berbeda dengan ibunda, ayahnya disidang dan dijatuhi vonis 20 tahun penjara. Uchi mengenang, ayahnya sering dipindah-pindahkan, mulai dari penjara Mlaten, Yogyakarta, Cilacap, Ambarawa, dan Nusakambangan. Pada tahun 1980, ayah mendapatkan remisi dan bisa bebas lima tahun lebih awal.
“Walaupun sudah bebas, mereka wajib lapor dan KTP-nya pun diberi tanda ET (Eks Tapol),” ucap Uchi.
Namun sayang, hanya lima tahun setelah menghirup udara bebas, ayah Uchi meninggal dunia. Ayahnya sendiri tak pernah bercerita kepada Uchi tentang perlakuan apa saja yang diterimanya di penjara. “Jadi sewaktu bebas, kuku-kuku tangan bapak sudah menghitam,” ujar Uchi sambil menunjukkan foto kedua orang tuanya selepas dari penjara. Dalam foto itu terlihat sorot mata ayahnya yang tidak lagi bersinar, berbeda dengan foto-foto lainnya yang dipajang di ruang tamunya.
Aksi Kamisan ke-538 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/5) / Antara Foto
Ruang aman bernama reformasi
Sebelum reformasi, Uchi menyembunyikan identitas keluarganya dari lingkungan. Seringkali ia berbohong dan mengaku kalau pekerjaan ayahnya hanyalah petani atau pensiunan guru.
Ia juga tak pernah menyebut nama lengkap ayahnya. Ia ketakutan, orang-orang akan mengenalnya sebagai anak Bupati Cilacap yang komunis. "Saya hanya menyebut nama bapak saya sebagai Santoso,” ucapnya.
Reformasi memberikan harapan baru bagi Uchi. Pascareformasi, ia mulai membuka diri, bertemu serta berbincang dengan teman-teman yang mengalami nasib serupa tanpa rasa takut. Harapan Uchi pun membuncah ketika mendengar Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2000 akan mengadakan rekonsiliasi dengan para korban tragedi 65. Tap MPRS No. 25/1966 juga diwacanakan akan dicabut.
Meskipun pada akhirnya rekonsiliasi urung dilakukan dan Tap MPRS No. 25/1966 tak jadi dicabut, Uchi tak sedikitpun menyimpan rasa dendam di hatinya. Walaupun demikian, ia masih tetap berharap suatu hari nanti akan ada rekonsiliasi nasional dengan para penyintas 65 dan pelaku kejahatan 65 diadili sesuai dengan supremasi hukum yang berlaku.
Baca juga: Jalan panjang Sumarsih setelah 20 tahun reformasi