close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta, Maret 2019. Google Maps/my d
icon caption
Kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta, Maret 2019. Google Maps/my d
Nasional
Sabtu, 02 April 2022 13:23

Kejaksaan diharapkan tak berhenti di satu tersangka kasus Paniai

Kejaksaan didesak usut hingga ke tingkat pemegang komando kala itu.
swipe

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan pendampingan terhadap korban kasus pelanggaran HAM berat peristiwa Paniai.

Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar menjelaskan, pendampingan harus dilakukan karena proses hukum sudah akan mengarah kepada peradilan di meja hijau. Pendampingan sangat diperlukan bagi pemulihan korban dan keluarganya.

"Saat proses penuntutan, LPSK harus ikut terlibat dalam adanya proses pemulihan korban bersamaan dengan proses peradilan yang berjalan, entah nanti restitusi atau kompensasi," katanya kepada Alinea.id, Sabtu (2/4).

Dia menegaskan, pemulihan terhadap korban bukanlah sebuah pemberian yang diberikan pemerintah sebelum proses hukum berjalan. Jadi, ketika sebuah sumbangan dari pemerintah sudah diberikan beberapa waktu lalu, bukan berarti restitusi atau kompensasi sudah diberikan.

Di sisi lain, dia mendesak adanya pihak yang lebih bertanggung jawab dalam kasus Paniai dibandingkan IS. Pasalnya, IS merupakan komandan lapangan dan bukan pemegang komando kala itu.

Dalam aturan peradilan HAM berat, Pasal 42 Undnag-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur soal pertanggungjawaban komando. Oleh karenanya, Kejaksaan Agung selaku penyidik diharapkan tidak hanya berhenti pada satu tersangka saja.

"Ini kan dalam dugaan pelanggaran HAM berat, ada elemen terstruktur, sistematis, dan masif, jadi harus dipenuhi. Pertanggung jawaban komandonya harus ditelusuri sampai di mana," tuturnya.

Sebelumnya diberitakan, Tim jaksa penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) menetapkan satu orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam peristiwa Paniai, Papua, pada 2014. Tersangka adalah IS, yang diketahui dari unsur TNI.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, mengatakan, penetapan ini berdasarkan Surat Perintah Jaksa Agung Nomor: Print-79/A/JA/12/2021 tanggal 03 Desember 2021 dan Nomor: Print-19/A/Fh.1/02/2022 tanggal 04 Februari 2022 serta Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-01/A/Fh.1/04/2022 tanggal 01 April 2022 yang ditetapkan Jaksa Agung selaku penyidik.

Adapun Jaksa Agung RI selaku penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

"Kejaksaan Agung telah menetapkan satu orang tersangka, yaitu IS," kata Ketut dalam keterangan, Jumat (1/4).

Dalam mengusut kasus ini, penyidik telah mengumpulkan alat bukti sesuai Pasal 183 jo 184 KUHAP sehingga membuat terang adanya pelanggaran HAM berat di Paniai pada 2014. Insiden itu adalah kasus pembunuhan dan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dan h jo Pasal 7 huruf b UU Pengadilan HAM.

Menurut Ketut, peristiwa itu terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de jure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya, dan tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya, dan juga tak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

"Akibat kejadian tersebut, mengakibatkan jatuhnya korban yakni empat orang meninggal dunia dan 21 orang mengalami luka-luka," ucapnya.

Pasal yang disangkakan kepada tersangka, yaitu pasal 42 ayat (1) jo Pasal 9 huruf a jo Pasal 7 huruf b UU Pengadilan HAM. Kedua, Pasal 40 jo Pasal 9 huruf h jo Pasal 7 huruf b UU Pengadilan HAM.

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan