Dikepung sesar aktif pemicu gempa bumi
Beberapa hari sebelum terjadi gempa bumi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Ketua Ekspedisi Sesar Palu-Koro Trinirmalaningrum memprediksi sesar (patahan) Palu-Koro akan “berulang tahun.”
Perempuan yang akrab disapa Rini tersebut melihat catatan sejarah. Sebelumnya, wilayah Sulawesi Tengah pernah diguncang gempa bumi bermagnitudo besar pada 1907. Namun, Rini tak menyebutkan berapa besarnya gempa itu, dan berapa korban jiwa yang terenggut.
“Gempa besar itu memang ada siklusnya, antara 90 hingga 130 tahunan,” kata Rini, ketika saya hubungi, Senin (1/10).
Menurut Rini, sesar Palu-Koro merupakan salah satu sesar paling aktif di dunia. Patahannya merentang dari Donggala hingga Teluk Bone.
Pasca-gempa dan tsunami di Palu Barat. (Antara Foto).
Sudah diprediksi
Sejak 2013 lalu, Rini dan timnya sebenarnya sudah menyiapkan ekspedisi Palu-Koro untuk memetakan aktivitas sesar Palu-Koro. Semua lembaga pemerintah mereka ketuk untuk mendapatkan dukungan. Tapi, sayangnya banyak yang abai.
Usai penelitian tim ekspedisinya rampung, Rini menyampaikan hasil penelitiannya itu kepada Gubernur Sulawesi Tengah.
“Tapi Gubernurnya bilang, ‘jangan nakut-nakutin deh. Nanti nggak ada investasi yang masuk ke sini’,” ujar Rini.
Menurut Rini, dirinya dan tim tak ada niat menciptakan rasa takut terhadap warga Sulawesi Tengah. Rini dan tim inisiatif menginformasikan laporan penelitian itu, supaya ada persiapan menghadapi bencana yang lebih efektif.
Rini dan timnya pun merekomendasikan supaya tak ada bangunan sepanjang 30 meter dari tepian pantai. Rencana kontinjensi pun sudah diserahkan.
“Tapi, sayangnya itu tak dipelajari, dan hanya berakhir di rak-rak buku,” katanya.
Rencana kontinjensi sendiri merupakan sebuah rencana yang sudah dirancang dalam keadaan yang tidak tetap, dengan alur yang sudah disepakati, teknik, manajemen, dan berbagai pelaksanaan yang sudah ditetapkan bersama dengan berbagai penanggulangan.
Sementara itu, Dewan Penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari mengatakan hal serupa dengan Rini. Rovicky menuturkan, sesar Palu-Koro merupakan sesar aktif dengan pergeseran relatif lempeng (slip rate) hingga 40 milimeter per tahun.
“Bila melihat besaran slip rate atau pergerakannya, sesar Palu-Koro ini teraktif nomor dua setelah sesar Sorong di Papua,” kata Rovicky.
Baik Rini maupun Rovicky satu suara jika di Indonesia terdapat banyak sesar aktif. Rovicky bahkan menyebut, Tim Penyusunan Sumber dan Bahaya Gempa pernah meluncurkan peta sumber dan bahaya gempa di Indonesia pada 2017. Tim ini melaporkan, ada penambahan secara signifikan jumlah sesar, dari 81 sesar aktif dalam peta 2010 menjadi 295 sesar aktif dalam peta 2017.
Dalam kasus gempa bumi Palu dan Donggala, Rini menduga sesar Palu-Koro aktif bergerak di daratan. Sedangkan gelombang tsunami yang terjadi, kata Rini, karena ada longsoran di bawah laut.
Menurut Rini, dalam rencana kontinjensi itu, terdapat sejumlah instruksi terkait penanggulangan gempa dan tsunami. Rini mengatakan, pemerintah mau tidak mau harus mengubah strategi penanggulangan bencana dan anggaran dana bencana yang hanya sebesar 0,01%.
“Tata kota juga harus dipikirkan ulang. Jangan sampai ada bangunan yang berada di zona merah bencana,” kata Rini.
Ilustrasi titik gempa di Indonesia 1973-2013. (earthquake.usgs.gov).
Kalimantan paling aman?
Guncangan gempa yang terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9) lalu, terasa hingga Bontang, Kalimantan Timur. Meski begitu, gempa bumi sendiri tercatat jarang terjadi di Kalimantan.
“Untuk gempa, Pulau Kalimantan saya rasa merupakan pulau paling aman. Bencana di sana bentuknya kebakaran hutan dan banjir saja,” kata Rini.
Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), wilayah Kalimantan pernah beberapa kali diguncang gempa bumi. Dari catatan BMKG itu, gempa bumi pertama kali mengguncang Kalimantan Timur pada 14 Mei 1921. Tak ada catatan berapa magnitudo yang dihasilkan. Namun, saat itu kerusakan terjadi di Sangkurilang, Pulau Rending, Kariorang, dan Sekuran.
Lalu, terjadi lagi gempa bumi di Kalimantan Timur pada 19 April 1923, 13 April 1924, dan 14 Februari 1925. Pada 26 Mei 1991 dan 21 Desember 2015 gempa bumi mengguncang Kalimantan Utara. Pada 6 Juli 2016 terjadi gempa bumi di Muara Teweh, Kalimantan Tengah dengan kekuatan 4,5 skala Richter (SR). Terakhir, pada Juli 2018 lalu, terjadi gempa bumi berkekuatan 4,2 SR di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
Rovicky mengatakan, di Pulau Kalimantan juga terdapat sesar. Namun, banyak yang menganggap sesar itu tidak aktif.
“Sehingga sedikit gempa tercatat, meski bukan berarti tidak ada,” katanya.
Sejak 25 juta tahun silam, kata Rovicky, pergerakan lempeng tektonik di kawasan Kalimantan cukup aktif. Akan tetapi, menjadi tak aktif sejak 5 juta tahun lalu. Saat ini, sisa-sisa yang ada, meski tak begitu aktif, bisa keluar satu-satu.
“Jika pun terjadi gempa di Kalimantan, potensi kerusakannya akan bergantung dari kondisi konstruksi bangunan yang ada di sana. Gelombang magnitudo gempanya sendiri relatif sama,” kata dia.
Dalam buku Gempa Bumi Indonesia, karya Sunarjo, M. Taufik Gunawan, dan Sugeng Pribadi pun disebutkan, sedikit bagian timur Kalimantan potensial terjadi gempa bumi. Hal ini dipengaruhi aktivitas lempeng Indo-Australia yang bergerak menyusup di bawah lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik bergerak ke arah barat.
Kondisi Jakarta pun hampir mirip. Di ibu kota negara ini, terdapat sesar di bawah Jakarta. Tapi, tertutup endapan yang usianya lebih muda.
“Sehingga tidak mudah diketahui keaktifannya. Perlu penelitian lebih detail lagi,” katanya.
Sedangkan Rini, yang aktif memperhatikan jumlah sesar baru sejak 2017 mengatakan, sesar baru itu salah satunya membentang di daerah Pantai Utara Jawa.
“Bandung juga wilayah padat, sehingga pergerakan sesar Lembang juga harus diperhatikan,” kata Rini. Rini menambahkan, selain sesar Lembang, sesar Semangko yang berada di Pulau Sumatra juga mesti menjadi perhatian.
Dari penelusuran ini, Kalimantan yang dianggap jarang terguncang gempa bumi, sebenarnya punya potensi itu. Hampir seluruh wilayah Indonesia terkepung sesar pemicu gempa bumi.
Hal yang harus dilakukan sekarang, barangkali membangun sebuah sistem untuk meminimalisir korban jiwa akibat gempa. Selain tak membangun gedung di zona merah bencana, seperti yang disebutkan Rini, perlu dipikirkan membangun konstruksi yang tahan getaran.
Selain itu, perlu dipikirkan perencanaan penempatan pemukiman agar tak padat penduduk di daerah rawan gempa, dan memberikan bekal pendidikan kepada masyarakat untuk mengetahui cara menyelamatkan diri saat terjadi gempa.