Seorang suami berinisial TR tega memutilasi istrinya berinisial YN (Yanti) di rumahnya sendiri di Dusun Sindanglaya, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, Jumat, (3/5). Bahkan, potongan tubuh korban sempat dibawa berkeliling di kawasan rumahnya dan ditawarkan kepada warga.
Sang suami diduga mengalami depresi karena masalah ekonomi. Polisi mengatakan bahwa pelaku memiliki utang lebih dari Rp100 juta kepada perseorangan dan bank.
Kriminolog UI, Ade Erlangga Masdiana memaparkan, faktor penyebab orang melakukan pembunuhan orang terdekat tidak hanya karena tekanan ekonomi. Sering juga diperlakukan tidak menyenangkan, merasa sering tidak dihargai, harus melakukan pembalasan, hubungan sosial yang timpang, intervensi korban yang berlebihan, dan lainnya.
“Dengan kata lain, pelaku merasakan ada nilai yang perlu tindakan merespons dengan tindakan kekerasan (value clarification),” kata Ade kepada Alinea.id, Senin (6/5) malam.
Secara kriminologis, kata Ade, setiap orang punya potensi untuk membunuh. Tergantung pada kedalaman "rasa sakit" yang dirasa sehingga perlu dilakukan kejahatan pembunuhan.
Kasusnya banyak. Sepanjang budaya kekerasan masih dijadikan sebagai subkultur yang melingkupi atau dianut oleh pelaku dan korban.
Sebab, kejahatan pembunuhan tidak semata-mata kejadian karena satu sebab atau satu setting sosial. Melainkan karena banyak setting sosial yang dilalui antara pelaku dan korban.
Meski begitu, pada kasus ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh. Tentunya untuk memastikan depresi yang dialaminya menjadi pemicu aksi keji tersebut.
“Bisa masuk kategori gangguan jiwa (depresi), meskipun gangguan jiwa bersifat dinamis,” ujarnya.
Sejalan, Dosen Kriminologi UI lainnya, Mamik Sri Supatmi mengingatkan langkah penelitian itu. Maka dari itu, kepolisian langsung melakukannya.
Meski, tidak sering aksi pembunuhan dilakukan dalam kondisi kejiwaan yang normal. Tapi dengan gelagat sang suami, kepastian kondisi mental memang diperlukan.
Sehingga bisa dipastikan apakah dirinya layak untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jika tidak, maka sesuai Pasal 44 UU KUHP, sang suami harus bebas.
Namun, sang suami bukan lepas begitu saja. Penanganan secara kejiwaan diperlukan. Artinya, bukan penjara yang menjadi tempat perbaikan diri melainkan Rumah Sakit Jiwa atau rehabilitasi serupa.
“Tapi jika terbukti gangguan kejiwaan seharusnya tidak dipenjara melainkan diberikan treatment untuk gangguan kejiwaannya,” ucap Mamik kepada Alinea.id.
Mamik mengaku, sempat melalukan riset kecil-kecilan kala mengunjungi hotel prodeo. Ditemukan, ada beberapa orang di penjara mempunyai masalah kesehatan mental yang bisa saja sudah dibawa sejak masuk ke penjara dan diperparah di dalam lapas atau penjara, dengan peristiwa tertentu.
Maka tidak heran, bila kepolisian menempatkan pelaku pada ruang yang berbeda dari tahanan lainnya. Apalagi, terlihat tindak-tanduk aneh dari pelaku semenjak menginap di sana.