close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seks komersial. Alinea.id/MT Fadillah
icon caption
Ilustrasi seks komersial. Alinea.id/MT Fadillah
Nasional
Jumat, 14 Januari 2022 11:07

Dilema jerat hukum bagi si pria hidung belang

DPR mewacanakan revisi regulasi demi menjerat pengguna jasa pekerja seks komersial.
swipe

Raut muka Dodi--bukan nama sebenarnya--mengeruh saat membaca berita wacana pemidanaan pengguna jasa pekerja seks komersial (PSK) yang terpampang di layar telepon selulernya. Rampung membaca, ia langsung naik pitam. 

“Sok suci itu (DPR RI). Enggak penting (bikin aturan pemidanaan pengguna jasa PSK),” ujar Dodi saat berbincang dengan Alinea.id di Tangerang Selatan, Banten, Minggu (9/1).

Wacana menjerat pengguna jasa PSK memang kembali mengemuka. Rencana bikin aturan terkait itu menyeruak di DPR menyusul tak lama setelah selebritas Cassandra Angelie ditangkap Polda Metro Jaya, akhir tahun lalu. Cassandra diduga terlibat prostitusi online

Sebagai pelanggan jasa PSK, Dodi tentu parno. Di luar itu, ia punya analisis awam mengenai wacana tersebut. Menurut dia, rencana memidanakan pria-pria hidung belang salah kaprah jika tujuannya mengerem kekerasan seksual. 

Dodi justru meyakini pencabulan dan kekerasan seksual bakal semakin marak jika wacana itu terealisasi. Pasalnya, tak ada wadah bagi pria-pria hidung belang untuk menumpahkan hasrat birahi mereka. Ia juga mengkhawatirkan nasib para PSK. 

"Pasti pendapatan mereka (PSK) turun dong. Bahkan enggak ada sama sekali karena takut (pelanggannya). Makanya, enggak penting. Harusnya, dipikirin dulu aspek dampak sosialnya,” ucap pria berumur 32 tahun ini.

Berbeda dengan Dodi, Rico Simanjuntak, 38 tahun, justru mendukung rencana pemidanaan bagi pengguna jasa PSK. Punya pengalaman sebagai pelanggan, Rico menyebut ancaman pidana bagi pria hidung belang bakal bikin adil. 

"Dari segi keadilan, memang (pelanggan jasa PSK) harus (dihukum juga). Ya, untuk keadilan, sama-sama dijeratlah karena melakukan perzinahan,” ujar Rico kepada Alinea.id, Senin (10/1).

Meski demikian, Rico berpandangan perlu ada jalan tengah. Ia mengusulkan para pemangku kebijakan membuka lagi zona prostitusi yang legal. 

“Karena, mau bagaimana pun, yang nyari jasa PSK itu pasti ada aja. Jadi, enggak usah munafik gitu. Toh, (lokalisasi PSK) bisa hasilkan pajak juga,” terang pria yang berprofesi sebagai karyawan swasta itu. 

Ditanya soal wacana itu, Bunga--juga bukan nama sebenarnya--serba salah. Di satu sisi, PSK berusia 27 tahun itu setuju pengguna jasa turut dijerat. Di lain sisi, ia khawatir aturan semacam itu menggerus habis pendapatannya. 

“Ya, kalau bisa, pemerintah bisa kasih solusilah sama nasib kita. Pasti (jika aturan) ini jadi (berlaku), (pelanggan) pada takut. Nanti gimana nasib kita?" tutur Bunga saat dihubungi Alinea.id, Rabu (12/1).

Bunga mengatakan pekerjaannya memang berisiko. Ia menyebut banyak PSK sepertinya yang diperlakukan semena-mena oleh pelanggan. “Tinggi banget (jumlah kasus) kekerasan seksual itu. Kayak udah biasa sih,” ujar dia. 

Ilustrasi pekerja seks komersial. /Foto Pixabay

Kekosongan hukum 

Jerat hukum bagi pelanggan PSK rencananya bakal disisipkan di salah satu pasal dalam revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (R-KUHP). Itu setidaknya diutarakan anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, salah satu penggagas wacana tersebut. 

“Memang hukum pidana positif kita hanya mengatur pidana bagi para penjaja seks saja. Karena itu, politik hukum pidana kita perlu diperbaiki. Nah, nanti ketika RKUHP dibahas ulang, maka soal konsumen seks ini harus dipastikan bisa dijerat,” ujar Arsul kepada Alinea.id, Rabu (12/1).

Tak hanya untuk menghadirkan rasa adil, Arsul mengatakan, sanksi hukum bagi pengguna jasa PSK juga bisa memunculkan efek jera. Menurut dia, pemberian hukuman bagi pengguna jasa seks komersial juga membuat hukum pidana merefleksikan moral bangsa Indonesia.

Lebih jauh, Arsul mengungkapkan wacana itu belum dibahas mendetail. Pasalnya, hingga kini draf revisi KUHP masih di tangan pemerintah. "Kalau ditanya kenapa lama? Ya, hanya Menkumham yang tepat menjawab,” terang politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.

Terpisah, anggota Komisi III DPR Jazilul Fawaid menerangkan menggunakan jasa PSK bakal digolongkan dalam kategori tindak pidana perzinahan di RKUHP. Sebelumnya, pidana perzinahan di beleid itu tidak spesifik menghukum pelaku layanan seks komersial.

Dalam Pasal 417 ayat 1 R-KUHP, kata Jazilul, ada ancaman hukuman pidana penjara maksimal satu tahun bagi pasangan yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Delik aduan itu bakal diperluas untuk menjerat pengguna layanan seks komersial.

“Tidak mudah merumuskan dan memutuskan terkait tindak perzinahan. Jadi, yang akan diatur dalam RKUHP itu tindak pidana perzinahan, bukan spesifik pengguna PSK atau legalisasi prostitusi,” ujar Jazilul saat dihubungi Alinea.id, Selasa (11/1).

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mendukung rencana DPR membuat aturan untuk memidanakan pengguna jasa layanan seks komersial. Menurut dia, praktik prostitusi dapat merusak moral dan kualitas generasi bangsa.

“Ya, mestinya perlu. Itu (hubungan seksual) enggak boleh sembarangan. Lebih baik mempermudah prosedur perkawinan sehingga orang tidak terjebak pada pelacuran,” ujar Fickar saat dihubungi Alinea.id, Selasa (11/1).

Fickar menjelaskan KUHP memang belum menjamah pelanggan praktik seks komersial. Dalam UU peninggalan era kolonial itu, ancaman pidana hanya disiapkan bagi penyedia jasa PSK, seperti mucikari atau germo. Ketentuan itu tercermin dalam Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP. 

Hubungan seksual yang dapat ditindak dalam KUHP, sambung Fickar, yakni jika salah satu pasangan masih berusia anak-anak. Hal itu diatur dalam Pasal 287 KUHP. Dalam diktum itu, pelaku dapat dihukum penjara maksimal sembilan tahun bila berhubungan dengan perempuan berusia di bawah 15 tahun.

“Jadi, sepanjang relasinya mereka tidak terikat perkawinan, itu tidak ada aturan pidana kita yang bisa mempidanakan. Yang tidak bisa dijangkau (KUHP) itu orang yang tidak terikat perkawinan, baik si PSK atau pelanggannya,” ujar Fickar.

Ilustrasi aktivitas transaksi antara pelanggan dan pekerja seks komersial. /Foto Pixabay

Jaminan sosial

Sosiolog dari UIN Syarif Hidayatullah, Musni Umar menilai jerat hukum bagi pelanggan jasa PSK tidak akan serta menghilangkan praktik-praktik prostitusi. Pasalnya, kebanyakan PSK menjual tubuhnya lantaran terdesak kebutuhan ekonomi.

“Jadi, tidak hanya mengatur pidana saja, tapi juga harus memberikan solusi ekonomi juga. Itu peran pemerintah sangat penting sekali. Kalau ini dilakukan, maka akan mengurangi orang-orang yang memang menjual diri,” ujar Musni saat dihubungi Alinea.id, Selasa (11/1).

Bentuk jaminan sosial bagi PSK, kata Musni, bisa berupa pemberian pelatihan keterampilan kerja dan modal usaha. Pelatihan bisa dijalankan secara paralel berbarengan dengan edukasi dan pemberian motivasi agar para tunasusila tidak kembali menjajakan diri.

“Apalagi, sekarang di masa Covid-19. Sekali lagi, pemerintah perlu turun tangan. Dunia usaha juga harus peduli. Dengan kolaborasi, maka secara bertahap kita bisa atasi masalah sosial yang akhirnya meruntuhkan masalah moralitas bangsa kita,” kata dia. 

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo

Tenaga Ahli Madya Kedeputian II Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Erlinda mengatakan pemerintah mendukung penuh rencana pemidanaan bagi pengguna jasa layanan seksual. Jika berlaku, menurut dia, regulasi itu dapat menekan menekan angka kejahatan seksual atas nama prostitusi.

"Yang pasti mendudukannya seperti apa, itu harus kita lihat nantinya. Yang pasti, (wacana) ini menjadi oase di padang pasir, di mana selalu menjadi korban adalah perempuan atau para penikmat seks yang berbeda atau sesama jenis,” tandas Erlinda saat dihubungi Alinea.id, Selasa (11/1).

Soal kesejahteraan PSK, Erlinda menuturkan pemerintah tidak akan lepas tangan. Kementerian-kementerian terkait, semisal Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), bakal didorong untuk merehabilitasi para PSK yang berniat menjauhi dunia malam. 

"Dan Kementerian PPPA, misalnya, dengan memberikan pelatihan, kompetensi, percakapan, soft skill dan hard skill sehingga mereka mempunyai satu pegangan untuk modal bekerja. Selain itu, bisa juga mengakses beragam pelatihan yang ada dalam Kartu Prakerja,” ujar Erlinda.

Rehabilitasi para PSK, kata Erlinda, merupakan pekerjaan masif yang tak bisa dibebankan kepada pemerintah pusat sendirian. Ia berharap pemerintah daerah juga turut berkontribusi dalam memastikan mantan pekerja seks bisa hidup sejahtera. 

"Termasuk juga para (praktisi) dunia usaha dan akademisi. Kenapa tidak memberikan pelatihan tambahan supaya selamatkan mereka dari lingkaran yang mereka berat untuk keluar,” kata Erlinda.

 

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan