close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Perajin jamu menuangkan jamu cair berbahan rempah-rempah ke dalam botol di industri rumahan jamu tradisional di Kota Madiun, Jawa Timur, Kamis (5/3/2020). Foto Antara/Siswowidodo/foc.
icon caption
Perajin jamu menuangkan jamu cair berbahan rempah-rempah ke dalam botol di industri rumahan jamu tradisional di Kota Madiun, Jawa Timur, Kamis (5/3/2020). Foto Antara/Siswowidodo/foc.
Nasional
Minggu, 30 Mei 2021 14:09

Dilema penggunaan jamu dalam pelayanan kesehatan di Indonesia

Permenkes 003/2010 tentang saintifikasi jamu tidak mengatur pelayanan kesehatan dengan jamu oleh dokter.
swipe

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 003/2010 tentang saintifikasi jamu mengatur penelitian berbasis pelayanan bagi tenaga kesehatan (nakes)/dokter. Namun, tidak mengatur pelayanan kesehatan dengan jamu oleh nakes/dokter.

“Para dokter saintifikasi jamu ini awalnya ketika mengikuti pelatihan menyangka akan bisa meresepkan jamu yang sudah diuji klinik. Tetapi ternyata tidak bisa, tidak bisa memberikan jamu yang sudah diuji klinik. Padahal, sebenarnya sudah ada bukti klinisnya, ternyata tidak bisa atau tidak diperbolehkan,” ujar Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Inggrid Tania dalam diskusi virtual, Minggu (30/5).

Lalu, muncul Peraturan Pemerintah (PP) 103/2014 yang mengatur segi empiris, komplementer, serta integrasi terkait pelayanan kesehatan tradisional. Dari sisi empiris, jelasnya, PP tersebut membatasi penyehat tradisional (pendidikan informal/noninformal) hanya boleh dalam upaya promotif (promosi) dan preventif (pencegahan).

Padahal, penyehat tradisional atau orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional diklaim dapat melakukan upaya kuratif (pengobatan). “Seperti kita lihat misalnya ada dukun patah tulang. Kita melihat mereka sebenarnya banyak memberikan manfaat untuk masyarakat, tetapi dengan PP ini, mereka dilarang melakukan upaya kuratif, ini yang sangat disayangkan, seharusnya dibina dan diawasi (Kementerian Kesehatan),” ucapnya.

Sementara itu, sisi komplementer (penerapan kesehatan tradisional memanfaatkan ilmu biologis, dan biokultural yang telah terbukti secara empiris) melahirkan profesi baru bernama tenaga kesehatan tradisional (nakestrad). Pendidikan minimal D3 perguruan tinggi dengan wewenang mencakup promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif. Bahkan, profesi baru tersebut dibangunkan fasilitas pelayanan kesehatan tradisional tersendiri bernama Griya Sehat.

Kemudian, sisi integrasi dengan mengkombinasi pelayanan kesehatan konvensional dengan pelayanan kesehatan tradisional. Ini bersifat pelengkap atau pengganti. Namun, wewenang nakes/dokter terkait hal ini akan diambil alih secara keseluruhan oleh Tenaga Kesehatan Tradisional (nakestrad).

Dalam PP itu, nakes/dokter di rumah sakit dan puskesmas harus segera meninggalkan pelayanan kesehatan tradisional integrasi paling lambat 3 Desember 2021. Jika nakes/dokter masih memberikan pelayanan kesehatan dengan jamu, maka yang bersangkutan harus melepas profesinya.

“Ini sebenarnya yang kami sayangkan, karena sudah banyak puskesmas dan rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan integrasi. Nanti 3 Desember 2021 diminta meninggalkan karena ada profesi baru yang namanya nakestrad,” tuturnya.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan