close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi. Foto tangkapan layar Youtube
icon caption
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi. Foto tangkapan layar Youtube
Nasional
Rabu, 07 Juli 2021 13:33

Dimonopoli BRIN, PSHK: Masalahnya bukan tata kelola kelembagaan, tetapi anggaran

Arah kebijakan tersebut bukan sekadar pertimbangan teknokratik. Namun, juga bernuansa politis yang melibatkan aktor dari lembaga eksekutif.
swipe

Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di sisi lain, semua lembaga riset baik yang berbentuk lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK maupun badan penelitian dan pengembangan (balitbang) di kementerian dan lembaga (K/L) akan dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai, arah kebijakan tersebut bukan sekadar pertimbangan teknokratik. Namun, juga bernuansa politis yang melibatkan aktor dari lembaga eksekutif, hingga legislatif.

Ia mengaku telah mencium aroma politis di balik langkah itu. Terutama sejak pembahasan Peraturan Presiden (Perpres) 95/2019 tentang Perubahan Perpres 74/2019 tentang BRIN selama periode 31 Desember 2019 sampai 31 Maret 2020.

Menurut Fajri, ekosistem dengan yang membagi tiga bagian, yakni BRIN, pemerintah, dan berbagai unit lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sudah sangat ideal. Sebab, tiga kelompok tersebut memiliki fungsi terpisah satu sama lain.

“Dengan menyatukan itu (semua lembaga riset dan balitbang kementerian/lembaga) di satu lembaga (BRIN), ini kalau istilah perusahaan malah jadi monopoli. Malah menjadi semua sumber daya berkumpul di satu tempat, sehingga aturan main atau wasitnya jadi bingung,” ucap Fajri dalam diskusi Alinea Forum bertajuk ‘Harmonisasi Regulasi BRIN’, Rabu (7/6).

“Jadi, bayangkan kalau ada suatu wasit (BRIN, red) di suatu pertandingan sepak bola (ekosistem Iptek di Indonesia), dia ikut main. Bahkan, semuanya ikut main dalam satu klub, jadinya mengawasinya bagaimana? Kepentingan publik yang berkaitan dengan proses riset dan iptek yang harus diwakili pemerintah menjadi bias dengan proses yang ada,” sambungnya.

Ia pun menilai, sulit mengejar peran swasta dalam ekosistem riset dan teknologi dalam konteks tata kelola kelembagaan (semua lembaga riset dan balitbang kementerian/lembaga dilebur ke BRIN) saat ini. Juga sulit membenarkan dalih peleburan semua lembaga riset dan balitbang kementerian/lembaga ke BRIN terkait penggunaan anggaran yang tidak terkontrol, sehingga pengembangan riset dan teknologi terkesan tidak memberikan hasil.

“Ketika ada prioritas anggaran, ada yang sudah dianggarkan di awal gitu ya, tetapi kemudian tidak terkawal dengan baik, sehingga hilang untuk riset. Saya pikir masalahnya bukan tata kelola kelembagaan, tetapi politik anggaran untuk riset di Indonesia sangat lemah,” tutur Fajri.

Sebelumnya, Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sofian Effendi menilai, nasib ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta inovasi pascapembubaran Kemenristek sangat suram.

BRIN, kata dia, tidak dapat menggantikan kedudukan Kemenristek. Apalagi, anggaran BRIN tergolong kecil. Padahal, infrastruktur Iptek di Indonesia cukup lengkap dan pegawainya yang masih bergairah bekerja. Dari segi budaya birokrasi di Indonesia, pembubaran Kemenristek dinilai sebagai kemunduran. “Kemenristek dibubarkan, ini suatu ironi yang luar biasa. Katanya Indonesia mau menuju industri 4.0,” ucapnya dalam diskusi virtual Alinea Forum ‘Model Integrasi BRIN’, Jumat (18/6).

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan