Jumlah peminat pendidikan tinggi vokasi di Indonesia mengalami penurunan. Setidaknya, menurut Ketua Umum Asosiasi Pendidikan Vokasi (Apvokasi), Marsudi Wahyu Kisworo, ada 3 faktor yang melatarbelakanginya.
Pertama, pandangan buruk masyarakat terhadap pendidikan vokasi. Kedua, lulusan D-4 tidak diakui, seperti dalam lowongan pekerjaan yang hanya mencari lulusan D-1 hingga D-3 dan S-1. Terakhir, pekerjaan low-middle skill biasa dikerjakan semua orang dan diprediksi ke depannya dilakukan secara automasi atau oleh robot.
Marsudi melanjutkan, lulusan pendidikan vokasi, baik tingkat atas maupun sekolah tinggi, menjadi kelompok yang paling banyak menganggur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 1,8 juta lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) dan 235.000 jebolan pendidikan diploma adalah pengangguran per Februari 2022.
"Jumlah pengangguran terdidik terbesar dari lulusan vokasi. Lulusan SMK yang nganggur lebih banyak daripada SMA (sekolah menengah atas). Lulusan diploma lebih banyak yang nganggur dibanding S-1," ucapnya dalam webinar, Jumat (19/8).
Pendidikan tinggi vokasi diketahui memiliki sistem fokus pada penguasaan keahlian terapan tertentu. Pendidikan ini terdiri dari empat program yang meliputi diploma, yaitu D-1 (Ahli Pratama), D-2 (Ahli Muda), D-3 (Ahli Madya), dan D-4 (Sarjana Terapan, setara dengan S-1).
Sementara itu, Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Kepanjen, Bambang Suryanto, mengungkapkan, dirinya mengalami kendalam dalam mengajar. Hal tersebut dinilai karena minimnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan tinggi vokasi.
"Masalah yang saya hadapi yaitu kurangnya perhatian dari pemerintah soal kurikulum yang diajarkan perguruan tinggi masih lama. Artinya, tidak ada perkembangan dari kurikulum," keluhnya.
Baginya, kurikulum perguruan tinggi vokasi yang masih dipakai hingga saat ini tak menjawab semua tantangan yang ada. Untuk menyiasatinya, Bambang selalu mengajarkan kepada mahasiswanya di luar konteks dan disesuaikan dengan keadaan di lapangan.
Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan memberikan keleluasaan wewenang kepada perguruan tinggi vokasi dalam membuat kurikulum-kurikulum lokal dan tambahan. Tujuannya, lulusan-lulusannya dapat adaptif dan sesuai dunia kerja.
Adapun Marsudi mengusulkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mengubah pola pikir ketika membuka lowongan pekerjaan. Diharapkan mengutamakan penerimaan lulusan pendidikan vokasi lantaran lebih siap bekerja daripada jebolan S-1.
Di sisi lain, dirinya juga mendukung langkah pemerintah yang menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi. Marsudi menilai, beleid ini bertujuan menyiapkan tenaga kerja yang berdaya saing, terampil, bermutu, dan relevan dengan tuntutan dunia kerja yang terus berkembang.
Katanya, regulasi teknis turunan dari Perpres 60/20022 sedang dipersiapkan pemerintah. Nantinya, akan memuat pokok-pokok arah kebijakan dan strategi nasional pendidikan dan pelatihan vokasi dengan sasaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, kalangan pendidikan, serta dunia industri, usaha, dan kerja.