Berbagai aktivitas di ruang siber penuh dangan ancaman dan gangguan. Misalnya, dalam konteks penyerangan, pencurian, dan pelemahan sangat sulit dilacak siapa aktor dibaliknya.
Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Sulistyo menjelaskan, definisi ruang siber Indonesia masih cair karena batas-batasnya sangat berbeda dengan ruang konvensional.
Batas laut, udara, dan daratan wilayah Indonesia di ruang konvensional sudah diakui hukum oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, batas ruang siber hanya bisa didefinisikan melalui Internet Protocol address (IP address) dan nama domain pengelolanya bukan negara, tetapi konsorsium swasta.
"Siber Indonesia, dalam konteks studi hubungan internasional bisa diatasi dengan diplomasi siber. Diplomasi digunakan untuk mengamankan kepentingan dan strategi siber sebuah negara," ucap Sulistyo, saat dihubungi, Kamis (16/4).
Di ruang konvensional, menurut Sulistyo, orang dan barang melintasi batas-batas negara akan diperiksa. Misalnya di Indonesia, perlintasan orang dipantau Direktorat Jenderal Imigrasi, sedangkan barang oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Tetapi, dia menegaskan, ruang siber cenderung lebih bebas. Masalahnya, bisa berpotensi konflik jika digunakan untuk aktivitas ilegal. Terlebih, jika mengganggu atau mengancam infrastruktur siber pemerintah.
"Kasus perang siber seperti Georgia pada 2008 dan Estonia pada 2007. Diskursus hubungan internasional, menemukan adanya sponsor negara di situ. Kesulitannya, terkait bagaimana menentukan siapa sebenarnya yang pertama kali menginisiasi penyerangan (atribusi)," ujar penulis, disertasi Diplomasi Siber Indonesia dalam Menghadapi Potensi Konflik Siber ini.
Menurut Sulistyo, diplomasi siber berfungsi untuk meredam potensi konflik siber lewat hubungan bilateral antarnegara. Caranya, dengan membangun Confidence Building Measure (CBM) agar negara-negara lain bisa memahami posisi Indonesia terkait strategi siber.
Sehingga, bisa timbul rasa saling pengertian agar tidak memanfaatkan teknologi siber untuk mengganggu infrastruktur siber negara lain. Sebab, sulit menentukan (atribusi) aktor yang bermain dibaliknya, apakah hacker atau aktor yang disponsori negara.