Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK) permanen, Rabu (20/12), sebagaimana mandat Peraturan MK (PMK) Nomor 1 Tahun 2023. Bahkan, dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH), para hakim konstitusi telah menetapkan 3 anggota MKMK, yakni eks Rektor Universitas Andalas (Unand), Yuliandri; mantan hakim MK, I Dewa Gede Palguna; dan hakim konstitusi aktif, Ridwan Mansyur.
Sesuai Pasal 4 ayat (1) PMK 1/2023, anggota MKMK terdiri dari masing-masing 1 orang hakim konstitusi, tokoh masyarakat, dan akademisi berlatar belakang di bidang hukum. Yuliandri dkk rencananya dilantik pada 8 Januari 2024 untuk masa jabatan selama 1 tahun.
Juru bicara hakim MK, Enny Nurbaningsih, menyatakan, pembentukan MKMK permanen menindaklanjuti rekomendasi MKMK ad hoc dalam putusannya pada 7 November 2023. Adapun keputusan memilih ketiganya dengan berbagai pertimbangan dan diputuskan secara aklmasi atau tanpa pemungutan suara (voting). Ketentuan memilih calon anggota MKMK diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) PMK 1/2023.
Yuliandri, misalnya, dinilai sebagai ahli hukum tata negara dan intens mengkaji peradilan. Ia pun dianggap tidak memiliki persoalan etik dan mempunyai integritas.
"Bapak Palguna, beliau adalah dulu Ketua MKMK pertama dengan track record yang baik. Beliau sangat memahami bagaimana pedoman perilaku hakim konstitusi," katanya. Palguna juga terlibat dalam pembentukan PMK 9/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim MK sehingga dianggap memahami masalah ini.
Sementara itu, Ridwan ditunjuk sebagai representasi hakim konstitusi lantaran tidak dijatuhi sanksi oleh MKMK ad hoc, yang dipimpin Jimly Asshiddiqie. Sebab, ia baru dilantik setelah putusan tersebut.
"Untuk menjaga supaya ini memang benar-benar tidak terkait dengan hal itu, sehingga yang ditentukan adalah Yang Mulia Pak Ridwan Mansyur," ucapnya. Alasan lainnya, Ridwan juga sempat berkarier sebagai hakim di Mahkamah Agung (MA).
Lebih jauh, Enny menerangkan, Ridwan satu-satunya anggota MKMK yang bersifat ad hoc. Ia sewaktu-waktu dapat digantikan ketika diadukan atas dugaan pelanggaran etik.
"Tidak bisa ditentukan [anggota MKMK] permanen untuk [unsur] hakim [MKMK] yang aktif. Harus yang sifatnya ad hoc supaya mudah dilakukan proses penggantian terhadap yang bersangkutan," ulasnya.
Dua persoalan
Sementara itu, pakar hukum tata negara Unand, Feri Amsari, ragu kehadiran MKMK mampu menjaga muruah hakim-hakim konstitusi. Setidaknya ada dua persoalan yang disorotinya. Pertama, MKMK bagian dari MK itu sendiri.
"Tidak logisnya konsep ini bagi upaya untuk menegakkan standar etik bagi hakim konstitusi, terutama upaya untuk menegakan muruah keadilan," ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (22/12). "Kalau pilihannya 'jeruk mengawasi jeruk', ya, tidak akan maksimal [karena] 'jeruk makan jeruk'."
Kedua, anggota MKMK bagian bahkan memiliki koneksi dengan hakim-hakim konstitusi. "Sulit bagi saya [masalah etik] ini akan ditegakkan dengan benar."
Feri mengingatkan, anggota MKMK mestinya diisi oleh figur-figur yang bisa menegakkan aturan etik secara tegas. Oleh karena itu, mestinya beranggotakan orang-orang yang tidak berkaitan dengan hakim konstitusi selain memiliki kecakapan di bidang terkait, dihormati publik, dan berkredibilitas baik.
Menurut eks Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Unand ini, hanya Palguna yang layak menjadi anggota MKMK. Hal itu terlihat dari rekam jejaknya.
Seperti Dewas KPK
Karenanya, Feri berpendapat, kinerja MKMK ke depannya takkan berbeda dengan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK). Tugasnya hanya akan menjadi alat legitimasi terhadap berbuatan hakim konstitusi yang menyimpang.
"Persis, MKMK akan seperti Dewas [KPK], di mana tugas mereka malah menjadi alat legitimasi terhadap perbuatan hakim konstitusi yang tak benar," yakinnya.
Dewas KPK dibentuk sesuai mandat Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang 19/2019. Merujuk Putusan MK Nomor 71/PUU-XVII/2019, ia bertugas mengawasi dan mengevaluasi kinerja KPK, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menerima dan menindaklanjuti laporan publik tentang dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK atau pelanggaran aturan dalam UU KPK, serta menggelar sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK. Sayangnya, kinerjanya disorot karena dianggap tak bertaji menegakkan kode etik terhadap komisioner KPK yang bermasalah.
Feri lantas mencontohkan dengan hakim konstitusi Guntur Hamzah yang mengubah substansi Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022. Atas perbuatannya tersebut, yang terbukti melanggar prinsip integritas dalam kode etik dan perilaku hakim konstitusi (Sapta Karsa Hutama), MKMK kala itu menjatuhkan sanksi teguran tertulis.
"Itu pelanggaran konstitusional luar biasa dan tak patut seorang yang memiliki standar etik negarawan membiarkan itu dan menjadikan itu semacam pembenaran terhadap pelanggaran konstitusi yang luar biasa di depan mata. Padahal, salah satunya ada Pak Palguna juga di dalamnya," ungkapnya. Palguna menjadi Ketua MKMK yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik Guntur.
"Pak Palguna, yang dikenal tegas dan serius menjunjung nilai-nilai di Mahkamah Konstitusi, saja tidak menjatuhkan putusan yang baik dalam perkara ini, apalagi yang lain, Pak Yuliandri dan Pak Ridwan Mansur, yang notabenenya orang yang bagian dari MK itu sendiri," imbuh dia.