Pemerintah harus batalkan kebijakan diskon rokok. Sebab, harga terjangkau dan lebih murah dari ketentuan peraturan mengakibatkan anak dan remaja masih dapat mengakses rokok dengan mudah.
Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Tubagus Haryo Karbyanto mengungkapkan, jika diskon rokok tidak dibatalkan sulit untuk memiliki visi membangun kualitas sumber daya manusia (SDM), dalam perekonomian negara masa depan. "Kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara. Yakni, visi misi Presiden, RPJM, SDGs, dan filosofi pengendalian tembakau itu sendiri, khususnya pada filosofi pemungutan cukai," kata Tubagus di JAkarta, Jumat (5/6).
Dia menjelaskan, kebijakan ini secara sosiologis memperparah dan mempermudah akses barang adiktif pada masyarakat serta ancaman bonus demografi Indonesia. "Ini jelas bertentangan dengan hukum, dengan PP 109/2012, Undang-Undang (UU) Kesehatan, UU Cukai, UU Perlindungan anak, UU Perlindungan konsumen," tegasnya.
Apalagi, cukai dikenal menjadi instrumen pamungkas pemerintah dalam pengendalian konsumsi rokok dan mengurangi keterjangkauan pada kelompok rentan dan anak-anak. Menurut Tubagus, pada 2020 cukai rokok naik 23%, tidak berhenti sampai disitu, pemerintah juga memaksa menaikkan harga rokok hingga 35%.
Kebijakan tersebut, melalui PMK 152/2019, harga jual rokok di pasar dipatok dengan tegas, tidak boleh lebih rendah dari 85% dari harga dalam pita cukai. Dengan demikian, pemerintah secara teori mengerem praktek pengenaan harga rokok serendahnya oleh pabrikan untuk menjaga harga rokoknya tetap murah.
"Bea Cukai ditunjuk untuk mengawasi harga rokok di pasar. Wewenang Bea Cukai ini tercantum dalam Perdirjen BC No. 25/2018," bebernya.
Namun demikian, implementasi di lapangan tidak sejalan. Masih banyak ditemukan rokok yang harganya jauh di bawah harga yang tercetak di pita cukainya, bahkan dijual lebih rendah dari 85% dari harga di pita cukai. Tubagus menerangkan, saat ini berdasar Perdirjen BC No. 37/2017, pabrikan rokok diperbolehkan menjual di bawah 85% dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei oleh Bea Cukai.
Dengan demikian, konsumen mendapatkan diskon hingga lebih dari 15% harga yang tertera dalam banderol. "Perlu langkah hukum cabut kebijakan diskon rokok," tegas dia.
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari mendesak, Dirjen Bea Cukai untuk lebih serius dalam mengawasi peredaran dan harga rokok serta tidak terlalu berpihak pada industri rokok. Sudah seharusnya, aturan diskon rokok dihapus karena terbukti menciptakan celah anak menjangkau rokok dengan mudah.
Sementara itu, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto membantah bahwa ada potongan harga atau diskon rokok di lapangan. Menurutnya, harga jual eceran (HJE) merupakan ketetapan sebagai dasar untuk penghitungan cukai dan pajak hasil tembakau.
HJE yang baru tidak boleh lebih rendah dari HJE lama, sehingga harus selalu meningkat. "Saat ini, pengawasan HTP dilakukan 98 kantor bea cukai yang terdiri dari 97 KPPBC dan 1 KPUBC yang melakukan pengawasan berkala empat kali dalam setahun," tuturnya.