Solidaritas Perempuan (SP) menuntut evaluasi dan pencabutan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) 260/2015. Sebab, aturan itu mendiskriminasi perempuan buruh migran dan meningkatkan kasus unprosedural berpotensi perdagangan orang pada 2020.
Kepmenaker 260/2015 mengatur tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.
Evaluasi Kepmenaker 260/2015 penting guna merumuskan kebijakan yang menjamin hak-hak perempuan buruh migran, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).
Di tahun 2020, SP mendapatkan, sebanyak 63 kasus kekerasan, pelanggaran hak, eksploitasi, hingga trafficking terhadap perempuan PMI. Dari 63 kasus tersebut, sebesar 14% di antaranya merupakan kasus pemberangkatan pasca Kepmenaker 260/2015.
"Iming-iming modus trafficking tidak jarang disertai dengan informasi palsu yang menyesatkan calon buruh migran. 50% kasus pemberangkatan pasca Kepmenaker No. 260 tahun 2015 yang ditangani SP," ujar Ketua Badan Eksekutif Nasional SP, Dinda Nuur Annisa Yura dalam rangka memperingati Hari Buruh Migran Sedunia, Jumat (18/12).
Sebesar 19% kasus, calon memberikan uang fee kepada perempuan buruh migran sebagai iming-iming. Biasanya menggunakan uang untuk membayar hutang. Negara-negara Timur Tengah kerap dipilih karena anggapan kedekatan budaya dan agama.
Banyak orang tidak mengetahui Kepmenaker 260/2015, sehingga penempatan buruh migran ke Timur Tengah masih terjadi dengan modus visa kunjungan dan visa umroh.
Menurut dia, ironisnya Kepmenaker 260/2015 muncul dalam situasi pemiskinan struktural seiring sejalan dengan masifnya investasi yang mengambil alih fungsi dan perampasan lahan sumber-sumber kehidupan masyarakat.
Kepmenaker 260/2015 diterbitkan dengan paradigma berpikir yang tidak menyentuh akar persoalan. Kerangka berpikir pemerintah mewajarkan perilaku sewenang-wenangan terhadap pekerja rumah tangga (PRT)-PMI, sehingga pengaturan bukan persoalan sistem perlindungan, tetapi malah menghentikan pengiriman buruh migran.
Kepmenaker 260/2015 dinilai sebagai kebiajakan patriakis yang bertentangan dengan Konvensi Migran 90,4 dan Rekomendasi CEDAW No. 26.
"Melalui kebijakan ini, pemerintah telah mengabaikan pengalaman perempuan yang telah terhimpit, baik dari segi ekonomi maupun sistem sosial yang membatasi ruang gerak dan masih menempatkan perempuan di sektor domestik," tutur Dinda.
Semestinya negara mengubah paradigma berpikir dengan tidak lagi melihat perempuan PMI sebagai komoditas. Namun, menempatkan mereka sebagai manusia/warga negara, sehingga penanganannya harus berorientasi HAM.