Anggota DPR RI periode 2009-2014, Markus Nari, menampik dirinya bersalah dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (KTP-el). Melalui penasihat hukumnya, Tommy Sihotang, Markus meminta kasusnya dihentikan.
Permintaan tersebut akan disampaikan dalam nota pembelaan atau pledoi pada persidangan berikutnya. Menurut Tommy, permintaan penghentian penyidikan kasus kliennya, lantaran proses hukum yang telah melampaui batas waktu penanganan perkara. Menurutnya, kasus yang menimpa Markus telah usang.
"Karena menurut UU Tipikor yang baru, kalau (perkara) 2 tahun tidak naik, setop dan SP3 (diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Tandanya kasus ini dipaksakan," ucap Tommy usai persidangan di Pengadilan Jakarta Pusat, Senin (28/10).
Di samping itu, Tommy merasa kliennya tidak pernah menerima uang sebesar US$900.000, seperti apa yang dituduhkan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Baginya, perkara yang menimpa Markus Nari hanya mengaitkan dari kasus para terpidana KTP-el sebelumnya.
"Ini bukan OTT, bukan hasil penyadapan. Cuma mereka simpul-simpulkan saja dari kasus Setnov, dan sebagainya," katanya.
Di tempat yang sama, terdakwa Markus Nari membantah menerima uang dari kasus KTP-el, seperti yang dituduhkan oleh penuntut umum KPK. Dia merujuk kesaksian Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam persidangan, yang tak menyebut penerimaan uang oleh dirinya.
"Pak Andi Narogong, dia mengaku dalam fakta persidangan, tidak pernah memberikan uang kepada saya. Tidak pernah menyuruh memberikan uang (kepada Setnov)," ucap dia.
Dia pun menyayangkan sikap penuntut umum KPK yang tidak mempertimbangkan kesaksian koordinator fee proyek e-KTP tersebut.
"Kita bersidang ini sia-sia saja. Kalau ini yang tetap berlaku, maka orang-orang yang terfitnah dan terdzalimi pasti akan kena," katanya.
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari ini, Markus dituntut hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Markus juga dituntut pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah US$900.000. Uang tersebut, merupakan jumlah total dana yang digelapkan Markus dari kasus korupsi KTP-el.
Selain itu, jaksa juga menuntut agar mantan politikus Golkar itu dicabut hak politiknya selama 5 tahun, setelah selesai menjalani masa hukuman penjara.