close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan Ketum PPP, Romahurmuziy dalam sidang pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/1/2020). Foto Achmad Al Fiqri
icon caption
Mantan Ketum PPP, Romahurmuziy dalam sidang pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/1/2020). Foto Achmad Al Fiqri
Nasional
Senin, 13 Januari 2020 19:31

Tolak tuntutan KPK, Rommy: Dunia tidak bersahabat kepada keluarga saya

Rommy menyebut pencabutan hak politik tak sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Tipikor.
swipe

Terdakwa kasus dugaan suap pengisian jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur, Muhammad Romahurmuziy menolak tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik yang dilayangkan jaksa penuntut umum Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK). Tuntutan untuk pria yang akrab disapa Rommy itu terhitung jika dia selesai menjalani pidana pokok.

Menurutnya, pencabutan hak politik tak sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

Terlebih dia merasa tak pernah melakukan penyelewengan kewenangan sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk mengintervensi Lukman Hakim Saifuddin selaku Menteri Agama sekaligus kader partainya. Termasuk untuk meloloskan Haris Hasanuddin sebagai Kakanwil Kemenag Jawa Timur.

"Saya katakan, undang-undang melarang anda mencampuri demokrasi internal setiap partai politik. Karenanya, yang mulia, saya menolak tuntutan ini," kata Rommy, saat membacakan nota pembelan atau pledoi, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (13/1).

Selain itu, Rommy mempertanyakan tudingan jaksa KPK yang menilai dirinya tidak mengakui kejahatan korupsi. Akibat tundingan ini, pidana yang disangkakan menjadi lebih tinggi dua tahun dibandingkan perkara serupa.

"Sementara itu, di banyak fakta persidangan yang di kutip penuntut umum, sering kali berbunyi menurut keterangan terdakwa. Jadi, tidak mengakui dimana?" tutur Rommy.

Saat ini, Rommy mengaku kehidupan sanak keluarganya turut terganggu. Terlebih, bagi anak perempuan semata wayangnya. Dia menuturkan, penangkapan yang dilakukan KPK pada 15 Maret 2019, membuat buah hatinya tak ingin melanjutkan pendidikannya di Indonesia.

"Reaksinya melihat ayahnya menjadi pesakitan adalah, 'mereka jahat, aku tidak mau lagi sekolah di Indonesia.' Dia hampir sebulan tidak mau sekolah karena takut bullying psikis," tutur Rommy sambil tersedu-sedu.

Bahkan, kata Rommy, kediamannya yang terletak di bilangan Condet, Jakarta Timur selalu dipantau petugas KPK pascaoperasi tangkap tangan tersebut. Tak hanya itu, dia mengklaim, seluruh telepon genggam sanak saudaranya seperti disadap.

"Pendeknya, dunia ini menjadi tidak bersahabat kepada seluruh keluarga saya," ucap dia.

Tak hanya keluarga, partai politik yang dipimpinnya juga merasakan dampak negatif atas tangkap tangan KPK. Dia menganggap, PPP kehilangan induk dalam menghadapi kontestasi Pilkada 2019.

"Akibatnya, 17 April suara PPP hancur tinggal separuh, nyaris tidak lolosvambang batas 4%. Betapa hancurnya hati saya pada waktu itu, secara personal maupun institusional," tutur Rommy.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Syamsul Anwar Kh
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan