Donasi ponsel bekas: Kritik halus kebijakan pemerintah
Sebagai seorang pekerja serabutan, Adam mengaku pusing tujuh keliling dengan pembelajaran jarak jauh, yang diterapkan Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mencegah penyebaran Covid-19 sejak pertengahan Maret 2020.
Warga Legok, Tangerang, Banten itu hanya memiliki satu buah ponsel pintar, yang kondisinya sudah agak rusak. Ponsel pintar tersebut harus dipakai bergantian oleh seorang anaknya dan dua anak yatim yang masih saudara istrinya, selama belajar dari rumah.
“Belum lagi (kebutuhan) isi kuota dan jajan,” ujar Adam saat berbincang dengan reporter Alinea.id di Tangerang, Banten, Jumat (14/8). Sehari, Adam mengaku, harus mengeluarkan uang paling sedikit Rp50.000 untuk segala kebutuhan tersebut.
Ponsel dan sepatu bekas
Keterbatasan ponsel pintar merupakan salah satu kendala yang dialami orang-orang seperti keluarga Adam selama masa pembelajaran jarak jauh. Hal itu disadari Haris Prabowo dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Wartawan Lintas Media.
Menurut Haris, kebijakan pembelajaran jarak jauh menjadi problem, terutama di daerah. Sejak kebijakan itu diterapkan Kemendikbud, kata dia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim tak mengimbangi dengan infrastruktur yang memadai.
“PJJ (pembelajaran jarak jauh) yang dicanangkan Pak Nadiem ini kan dia (pelajar) membutuhkan ponsel, kuota internet, aplikasi yang lumayan keluar uang banyak. Tapi enggak semua anak di Indonesia punya akses terhadap teknologi itu,” ucapnya saat dihubungi, Rabu (12/8).
Haris memandang, keputusan pembelajaran jarak jauh diterapkan tanpa antisipasi yang baik, seperti infrastruktur dan kurikulum yang terkesan Jakarta sentris. Hal ini, kata Haris, membuat daerah lain disamakan dengan Jakarta, seperti menggunakan jaringan internet dan ponsel pintar dalam proses belajar di rumah.
“Tanpa memikirkan kalau tiap daerah kan sebenarnya ada kultur masing-masing, ada khasnya masing-masing, yang sebenarnya cukup belajar dari situ saja,” ujar Haris.
“Bagaimana pemerintah daerah lebih mengadopsi itu harusnya, enggak usah mengacu sama pemerintah pusat.”
Ia mengatakan, jika serius menerapkan belajar dari rumah, setidaknya pemerintah menyediakan ponsel pintar untuk peserta didik kurang mampu. Kondisi itu membuat Haris dan kawan-kawannya tergerak membuka donasi ponsel bekas layak pakai untuk siswa yang membutuhkan sejak akhir Juli 2020.
Hingga 13 Agustus 2020, sudah 140 ponsel pintar bekas yang berhasil dikumpulkan. Mereka juga menggalang dana melalui KitaBisa.com. Haris mengatakan, uang yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk membeli ponsel pintar, jika hasil menghimpun ponsel bekas masih kurang.
Haris menjelaskan, ada prosedur ketat yang diberlakukan dalam penyaluran bantuan ponsel. Calon penerima harus mengisi formulir dan menjelaskan kondisi keluarga, seperti penghasilan orang tua dan kebutuhan ponsel. Kemudian, dilakukan juga verifikasi secara langsung, termasuk menyiapkan standar operasional prosedur (SOP) dan nota kesepahaman.
Di samping bisa mengajukan secara mandiri, Haris mengatakan, ada pula guru yang inisiatif mengajukan muridnya agar bisa menerima bantuan. “Seperti yang dilakukan guru dari Kepulauan Riau dan Nabire, Papua,” kata Haris.
Haris mengatakan, sudah 37 ponsel pintar yang disalurkan untuk 37 pelajar pada 9 Agustus 2020. Penerima yang mengajukan secara individu di antaranya berasal dari Bogor, Aceh, dan Kalimantan Barat. Akhir pekan ini, direncanakan 53 ponsel kembali disalurkan untuk 53 peserta didik.
“Tapi kalau yang ajukan sama guru atau kelompok belajar inisiatif itu kita baru kemarin distribusi secara tatap muka di daerah Rawamangun (Jakarta Timur) 15 siswa. Terus di daerah Ancol (Jakarta Utara) 14 siswa,” kata wartawan di sebuah media daring di Jakarta itu.
Menurut Haris, Wartawan Lintas Media juga membentuk program Relawan Teman Belajar. Tim relawan ini tugasnya mengawasi dan menjadi teman belajar peserta didik yang dilakukan tetap secara daring.
Kegiatan sosial membantu siswa yang membutuhkan uluran tangan juga dilakukan Dicky Martias dari komunitas Rampai Cinta Indonesia (RCI). Sejak Oktober 2019, jauh sebelum Covid-19 mengancam Indonesia, Dicky dan kawan-kawannya melakukan gerakan 1.000 sepatu bekas untuk anak yatim.
Pengalamannya sebagai jurnalis yang kerap turun ke pelosok desa di Indonesia Timur membuat Dicky terpantik melakukan gerakan ini. Saat melakukan kerja jurnalistik, Dicky melihat secara langsung kondisi pelajar yang serba kekurangan.
“Sepatu rusak, terkadang enggak bersepatu, enggak pakai seragam,” katanya saat dihubungi, Rabu (12/8).
Mulanya, donasi sepatu bekas hanya untuk siswa yang tinggal di Jabodetabek dan Banten. Namun, seiring waktu, RCI menerima permintaan dari Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan wilayah Indonesia Timur lainnya. Gerakan pun diperluas tak hanya sepatu bekas, tetapi juga seragam, tas, dan buku.
Setelah menyebarnya kasus Covid-19 di Indonesia, Dicky merasa ragu menerima donasi dan menyalurkannya karena khawatir penularan virus. Meski demikian, ia menyebut, hingga kini sudah sekitar 1.000 pasang sepatu bekas yang disalurkan.
“Cuma enggak bisa jauh-jauh. (Paling) ke panti asuhan yang sekitar Tangerang dan Bekasi,” katanya.
Menurut Dicky, tim RCI yang hanya tiga orang kerap kewalahan memilih sepatu yang berhasil dihimpun untuk disalurkan. Selain itu, untuk mengirim ke luar Pulau Jawa dibutuhkan ongkos yang mahal. Kerja sama dengan sekolah swasta ternama, yang memiliki siswa menengah ke atas juga terkendala karena Covid-19. Menurutnya, beberapa siswa di sekolah swasta itu setiap tahun banyak yang ganti sepatu.
“Sepatu yang lama itu kan bukan tidak muat, tapi masih bagus. Itu saya kumpulkan. Mereka sudah setuju, tapi karena Covid-19 akhirnya tertunda semua,” kata dia.
Di samping donasi sepatu bekas, di kediamannya di Ciledug, Tangerang, Dicky pun membuka rumah belajar yang tersedia internet gratis untuk siswa yang melakukan pembelajaran jarak jauh.
Dicky berinisiatif membuka ruang belajar alternatif karena selama pembelajaran jarak jauh, ia mendapat keluhan dari warga yang sangat berat mengeluarkan uang untuk kuota internet. Ia pun menyediakan seperangkat komputer yang bisa dimanfaatkan siswa.
“Tamparan” terhadap kekuasaan
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, munculnya gerakan donasi merupakan respons dalam melengkapi kebijakan pemerintah yang kurang.
Secara umum, menurutnya, ada dua pola gerakan sosial semacam ini. Pertama, gerakan itu memang niat membantu pemerintah dan masyarakat. Kedua, jika ditinjau dari perspektif sosiologi makro, terdapat istilah social movement for delegitimation—sebuah gerakan sosial yang bisa membuat legitimasi dari satu kewenangan, yang sifatnya makro menjadi turun.
“Jadi, dia mau ‘menampar’ kekuasaan, tapi dengan tidak melawan kekuasaan,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (12/8).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, dalam sosiologi kontemporer ada istilah garis tindakan. Dalam konteks negara yang dikomandoi pemerintah, garis tindakannya adalah melayani publik. Ia menganalogikan garis tindakan itu seperti sebuah tim sepak bola yang terus menyerang untuk mencetak gol ke gawang lawan. Mencetak gol merupakan tujuan dari garis tindakan.
“Tapi kemudian ada satu kelompok kecil yang melawan garis tindakan itu. Dia tidak mengoper bola ke arah depan, tapi ke arah belakang. Apakah itu salah dalam permainan bola? Tidak salah. Itu bisa menjadi bagian strategi untuk mengecohkan lawannya,” ujarnya.
Dengan melawan arus utama, Rissalwan menuturkan, kelompok kecil tersebut ingin menunjukkan sebuah strategi dan mengingatkan “pemegang komando” bahwa ada sesuatu yang salah. Gerakan donasi ponsel bekas, sebut dia, merupakan bentuk kritik halus kepada pemerintah.
“Untuk bilang pemerintah punya satu kebijakan yang sebetulnya tidak tuntas,” ucapnya.
Rissalwan berpandangan, gerakan sosial tak akan pernah hilang. Secara umum, kata dia, gerakan sosial bisa dibagi menjadi dua. Pertama, gerakan sosial perspektif konflik. Kedua, gerakan sosial perspektif struktural fungsional.
Bila menggunakan perspektif konflik, para penggeraknya melihat gerakan sosial merupakan bagian dari resistensi publik atau kelompok warga terhadap kebijakan yang merugikan komunitas tertentu.
“Artinya, ada orang yang termarjinalkan dari kebijakan yang dibuat pemerintah,” tuturnya.
Sementara perspektif struktural fungsional, menurut dia, gerakan sosial justru konstruktif karena dianggap sebagai penyeimbang dan mendorong perubahan dari entitas yang ada. Termasuk pemerintahan.
“Salah satu contoh gerakan sosial perspektif struktural fungsional adalah pemilu dan pilkada,” katanya.
Jika melihat gerakan Wartawan Lintas Media dan RCI, Rissalwan mengatakan, model seperti itu merupakan gerakan reaktif, yang lebih dekat kepada perspektif konflik. Menurut Rissalwan, dalam perspektif konflik, yang perlu dicatat adalah skalanya.
“Akan semakin membesar atau semakin kecil? Tapi, dia akan ada terus dan berfluktuasi, naik-turun,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai, dalam perspektif konflik munculnya gerakan sosial lantaran ada kelompok yang tak puas dengan kebijakan pemerintah. Namun, kelompok tersebut menyampaikannya tak frontal seperti demonstrasi, tetapi dengan kegiatan positif.
“Justru gerakan sosial seperti ini yang harusnya banyak dilakukan oleh kelompok masyarakat. Cuma catatannya, pemerintah seberapa peka?” ucapnya.