Kepala Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 sekaligus Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengungkapkan, Indonesia sempat tidak memiliki reagen (suatu zat kimia yang digunakan untuk mendeteksi, mengukur, memeriksa, dan menghasilkan zat lain) reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR).
“Demikian juga reagen PCR yang pada pertengahan April (2020) nyaris habis, bukan nyaris habis, tetapi habis sama sekali, tetapi dengan kerja sama berbagai pihak, termasuk dengan sejumlah dubes (duta besar) kita, khususnya Korea Selatan dan China memberikan bantuan luar biasa," ucapnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (9/3).
“Kami bersama (Juru bicara Satgas Covid-19) Wiku (Adisasmito) merasakan betul betapa kita berada pada posisi yang sangat rentan waktu itu,” ungkapnya.
Selain masalah pemeriksaan spesimen untuk PCR, Indonesia pun menghadapi persoalan sceening yang menggunakan rapid test antibodi. “Pemerintah (diklaimnya) tidak membeli terlalu banyak (rapid test antibodi), tetapi sebagian besar, adalah dukungan dari dunia usaha, awal kejadian Covid-19. Semua pihak bahu membahu mendatangkan rapid test antibodi dari luar negeri, termasuk perlengkapan yang tidak tersedia,” ujar Doni.
Ketika itu, Indonesia juga kewalahan dalam menyediakan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Imbasnya, mendadak mengimpor sekitar 230.000 unit APD dan mendistribusikan melalui pesawat udara TNI AU. Disisi lain, ‘bimbang’ dengan arahan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang berubah-ubah.
“Saat saya memberikan penjelasan untuk memakai masker sempat dilarang oleh salah satu petugas kesehatan internasional ‘Pak Doni, Anda jangan menggunakan masker, itu hanya digunakan untuk mereka yang sakit, akhirnya saya melepas masker dan akhirnya berubah lagi,” tutur Doni.
Menurut Doni, data merupakan tantangan terbesar dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Bahkan, data jumlah APD yang tersedia di berbagai rumah sakit pun tidak ada. Padahal, hampir semua rumah sakit tidak memiliki APD yang cukup hingga akhir Januari 2021.
Sebelumnya, Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro mengatakan, Indonesia sampai kini belum mampu memproduksi RT PCR. Padahal, alat itu merupakan standar emas (gold standard) untuk mendeteksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
"Terus terang, hingga sekarang kita belum mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dan memproduksi mesin PCR," ucapnya, dalam keterangan pers virtual, Selasa (2/3).
Tepat setahun lalu, Indonesia mengumumkan kasus pertama Covid-19. Imbasnya, sempat mengimpor banyak alat tes cepat (rapid test) berbasis antibodi dengan kualitas buruk guna memenuhi pengetesan (testing) dan penapisan (screening).
"Di awal (pandemi melanda Indonesia), membuat begitu banyak impor rapid test antibodi datang dari berbagai negara. Karena memang kondisinya mendesak sehingga tidak ada analisa dan asesmen terhadap kualitasnya. Banyak dipertanyakan karena tidak ada seleksi," tutur Bambang.