Doni Monardo: Pandemi Covid-19 bukan situasi yang normal
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo membantah dugaan BNPB memberikan kemudahan bagi perusahaan tertentu mengimpor kit reagen dan media transfer virus untuk tes Covid-19 di Indonesia. Menurut Doni, semua proses pengadaan alat uji tes Covid-19 sudah sesuai prosedur.
"Proses pengadaan di BNPB terbuka untuk umum. Setiap penyedia yang memiliki produk sesuai spesifikasi kebutuhan dan memenuhi persyaratan sebagai penyedia dapat ditunjuk sebagai penyedia," kata Doni dalam keterangan tertulis yang diterima Klub Jurnalis Investigasi (KJI) di Jakarta, belum lama ini.
Sepanjang April-September 2020, sudah ada 1.956.664 unit polymerase chain reaction (PCR), ribonucleic acid (RNA), dan viral transport medium (VTM) yang diimpor perusahaan untuk kebutuhan tes Covid-19 di Indonesia. Nilai total pengadaan kit dan reagen mencapai Rp549 miliar.
Ada tujuh perusahaan yang ditunjuk sebagai pengimpor kit dan media transfer virus itu, yakni PT Mastindo Mulia, PT Sinergi Indomitra Pratama, PT Trimitra Wisesa Abadi, PT Bumi Resource Nusantara, PT Makmur Berkah Sehat, PT Next Level Medical, dan PT Harsen Laboratories.
PT Trimitra Wisesa Abadi dimiliki Budiyanto A. Gani. Sepanjang 2020, menurut catatan Tempo, nilai proyek pengadaan PT Trimitra Wisesa Abadi di BNPB diperkirakan mencapai Rp427 miliar.
Budiyanto punya restoran padang di kawasan Jakarta Selatan yang dikelola bersama adik sepupu Doni, Inna Rossaria. Kepada tim KJI, Budi juga tak membantah soal kedekatannya dengan Doni.
Meski begitu, Doni menegaskan tidak ada yang salah dalam proses pengadaan. "Dari informasi yang kami peroleh, PT Trimitra Wisesa Abadi merupakan salah satu penyedia almatkes (alat material kesehatan) dalam penanganan Covid-19," kata dia.
Dari hasil audit terhadap proyek tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan empat persoalan dalam proses pengadaan. Pertama, pengadaan tidak berbasis survei kebutuhan dan ketersediaan sumber daya rumah sakit dan laboratorium penerima bantuan. Kedua, penunjukan perusahaan tidak berbasis pengalaman.
Ketiga, tidak ada pengecekan barang secara teliti saat serah terima sehingga sebagian alat sudah mendekati masa kedaluwarsa. Terakhir, belum ada uji coba terhadap kit yang diimpor.
Hasil analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) mengindikasikan potensi kerugian negara senilai Rp170 miliar. Proyek tersebut dianggap merugikan negara terutama karena hampir 500 ribu unit alat reagen PCR, RNA, dan VTM dikembalikan puluhan rumah sakit dan laboratorium lantaran tidak bisa digunakan atau hasilnya tidak akurat.
Berikut isi jawaban tertulis Kepala BNPB Doni Monardo kepada tim KJI:
Berdasarkan dokumen yang kami peroleh, terdapat 498.644 PCR dan RNA yang dikembalikan oleh 78 laboratorium di 29 provinsi pada Mei-September 2020. Alasannya beragam, mulai dari peralatan deteksi Covid-19 yang tak akurat, tak sesuai dengan laboratorium, hingga mendekati masa kedaluwarsa. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Gugus Tugas Penanganan Covid-19 telah merespons rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan Pemerintah (BPKP) terkait informasi adanya sejumlah 473.984 tes reagen RNA merk Sansure yang tidak dapat digunakan di beberapa laboratorium dengan melakukan penarikan (recall) seluruh produk RNA kit merk Sansure dan mengganti dengan produk sejenis, tetapi menggunakan merk berbeda. Selain itu, seluruh biaya kegiatan penarikan produk ditanggung oleh pihak penyedia.
Pengadaan reagen PCR, reagen kit merk Sansure dilakukan oleh PT Mastindo Mulia sebanyak 499.200 tes pada April 2020. Selain dari pengadaan, BNPB juga menerima donasi PCR reagen kit merk Sansure dari PT Mastindo Mulia sebanyak 50.000 tes pada awal terjadinya pandemi Covid-19.
Berdasarkan kajian dari tenaga ahli Gugus Tugas Percepatan Penanganan Cevid-19, produk Sansure telah mendapatkan sertififkasi CE dan FDA approval serta menjadi salah satu produk yang direkomendasikan oleh WHO. Dari hasil penelitian dan pengamatan BNPB bersama tim pakar Gugus Tugas Penanganan Covid-19, diketahui bahwa produk RNA kit merek Sansure dapat digunakan oleh laboratorium yang memiliki dokter spesialis patologi klinik.
Sampai dengan Januari 2021, terdapat 27 laboratorium yang tidak bisa memanfaatkan 165.542 tes RNA merek Sansure. Langkah selanjutnya BNPB melakukan proses redistribusi ke laboratorium yang mampu memanfaatkan dan mengoperasikan produk tersebut. Terkait masa kedaluwarsa yang pendek, produk RNA kit merek Sansure yang diperoleh dari hasil pengadaan oleh PT Mastindo Mulia masa kedaluwarsanya hingga bulan April tahun 2022.
Produk merek Sansure yang paling banyak dikembalikan rumah sakit dan laboratorium. Apa alasan BNPB memilih produk itu?
Proses pengadaan produk RNA Kit merek Sansure oleh PT Mastindo Mulia dilakukah pada periode awal terjadinya pandemi Covid-19, yaitu bulan April tahun 2020, di mana terjadi bukan hanya kenaikan harga, tetapi juga kelangkaan alat material kesehatan (almatkes) di pasar karena diberlakukannya kebijakan lock-down di berbagai negara dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Indonesia. Di sisi lain, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bersama BNPB beserta kementerian atau lembaga lainnya diperintahkan Presiden untuk memenuhi target pemeriksaan berbasis PCR sejumlah 10.000 tes per hari. Tentunya ini memerlukan banyak penggunaan reagen PCR, RNA, dan VTM dalam waktu yang cepat dan dalam kondisi yang tidak normal.
Pengadaan PCR reagen merek Sansure merujuk sejumlah hal. Pertama, pada tanggal 20 April 2020, Kepala BNPB selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan (Penanganan Covid-19) menerima penawaran dari PT Mastindo Mulia yang menyatakan kesanggupan untuk menyediakan sampai dengan 1 juta PCR reagen merek Sansure dalam waktu 10 hari.
Selanjutnya, berdasarkan kajian dari tenaga ahli Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, diketahui bahwa produk Sansure teiah mendapatkan sertififkasi CE dan FDA Approval serta menjadi salah satu produk yang telah direkomendasikan oleh WHO. Pemilihan atau penunjukkan PT Mastindo Mulia dilakukan karena PT Mastindo Mulia yang mampu menyediakan produk PCR reagen secara lengkap dalam jumlah banyak dalam waktu cepat.
Seluruh proses pengadaan dalam kondisi darurat bencana di BNPB, pejabat pembuat komitmen (PPK) didampingi oleh perwakilan LKPP dan merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah serta Surat Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020. Selain pendampingan dari LKPP, dilakukan juga post audit oleh aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) atas penilaian kewajaran harga di mana pelunasan pembayaran kepada penyedia dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari APIP.
Merujuk pada Pasal 6 ayat 1 Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang PBJ dalam Penanganan Keadaan Darurat, pengadaan darurat meliputi tiga tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penyelesaian pembayaran. Bagaimana BNPB mengidentifikasi kebutuhan rumah sakit dan laboratorium sebelum proses pengadaan?
Dalam struktur organisasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, terlibat berbagai unsur mulai dari kementerian/lembaga, TNI/Polri, unsur aparat penegak hukum lainnya, yakni BPK, BPKP, KPK, dan Kejaksaan Agung, serta akademisi dan kalangan profesional. Terkait proses pengadaan produk reagen PCR, BNPB bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid19 berkoordinasi dalam hal proses perencanaan kebutuhan dan proses distribusi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan yang memiliki wewenang dalam pengelolaan laboratorium kesehatan di seluruh Indonesia.
Berdasarkan dokumen pengadaan, sejumlah perusahaan penyedia bukan merupakan perusahaan yang bergerak di bidang medis atau kesehatan. Padahal, menurut peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 dan surat edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pengadaan Darurat, perusahaan penyedia barang disyaratkan memiliki pengalaman atau sedang melaksanakan proyek pengadaan sejenis. Bagaimana tanggapan Anda terkait ini?
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional, maka pandemi Covid-19 bukan situasi yang normal, khususnya pada periode awal pandemi antara Maret sampai dengan April 2020 di mana banyak negara yang membutuhkan reagen PCR untuk pemeriksaan Covid-19 sehingga menyebabkan kelangkaan reagen PCR. Bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga di seluruh dunia.
Menindaklanjuti instruksi Presiden RI dalam rapat kabinet terbatas pada tanggal 13 April 2020, Kepala BNPB selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk segera melakukan tindakan dan upaya maksimal guna pemenuhan kebutuhan terkait almatkes untuk menekan penyebaran COVID-19 yang semakin meluas. Dengan keterbatasan kondisi di atas, pertimbangan terpenting dalam pemilihan penyedia adalah penyedia yang pada saat kondisi darurat Covid-19 memiliki sumber daya dan mampu melaksanakan pekerjaan dalam waktu cepat dengan jumlah barang yang banyak sesuai kebutuhan.
Berdasarkan dokumen kontrak, tidak terdapat poin yang menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan pengadaan barang harus bertanggung jawab jika barang tersebut tidak bisa digunakan. Mengapa hal tersebut tidak diatur dalam kontrak? Bagaimana mekanisme dan nasib barang-barang yang dikembalikan ke BNPB tersebut?
Dalam penyusunan surat pesanan, PPK didampingi oleh perwakilan LKPP yang ditugaskan dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Surat pesanan tersebut merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah.
Pada saat ditemukan terdapat beberapa laboratorium yang tidak bisa menggunakan RNA merek Sansure, pihak penyedia PT Mastindo Mulia ikut bertanggung jawab dalam pembiayaan, baik proses penarikan produk dari laboratorium yang tidak bisa menggunakan RNA Sansure maupun proses redistribusi kepada laboratorium yang mampu menggunakan RNA Sansure tersebut.
Kami mendapatkan informasi bahwa dalam proses pengadaan PCR/RNA belum terdapat uji coba atas kualitas produk. Tanggapan Anda?
Pengadaan reagen (PCR, RNA, dan VTM) oleh PT Mastindo Mulia dengan merk Sansure dilakukan pada awal pandemi bulan April 2020 di mana terjadi kelangkaan almatkes, khususnya reagen PCR yang menjadi high demand di berbagai negara yang terdampak Covid-19. Keputusan pengadaan reagen merek Sansure tersebut didasari atas rekomendasi tim pakar yang telah mempertimbangkan adanya sertifikasi CE dan FDA approval serta produk reagen merek Sansure tersebut telah direkomendasikan WHO pada 25 Maret 2020. Di dalam negeri, ketika itu belum ada lembaga yang melakukan uji validasi untuk PCR reagen kit.
Bagaimana mekanisme dan nasib barang-barang yang dikembalikan ke BNPB tersebut?
Pada saat ditemukan terdapat beberapa laboratorium yang tidak bisa menggunakan RNA Merek Sansure, PT Mastindo Mulia ikut bertanggung jawab dalam pembiayaan baik proses penarikan produk dari laboratorium yang tidak bisa menggunakan RNA Sansure maupun proses redistribusi kepada laboratorium yang mampu menggunakan RNA Sansure tersebut.
Kami mendapat informasi bahwa perusahaan yang mendapat proyek pengadaan barang diminta untuk menyetorkan 10% dari nilai proyek ke pejabat BNPB. Apakah Anda mengetahui hal tersebut?
Kami pastikan bahwa informasi tersebut tidak benar.
Anda dikenal dekat dengan pengusaha-pengusaha yang ikut terlibat dalam pengadaan tersebut, antara lain Budiyanto A. Gani, pemilik PT Trimitra Wisesa Abadi. Tanggapan Anda?
Proses pengadaan di BNPB terbuka untuk umum. Setiap penyedia yang memiliki produk sesuai spesifikasi kebutuhan dan memenuhi persyaratan sebagai penyedia dapat ditunjuk sebagai penyedia. Dari informasi yang kami peroleh, PT Trimitra Wisesa Abadi merupakan salah satu penyedia almatkes dalam penanganan Covid-19.
Kami juga mendapat informasi bahwa keluarga Anda pernah ikut terlibat dalam proses pengadaan alat kesehatan di BNPB. Apakah Anda mengetahui hal ini?
Kami pastikan bahwa informasi tersebut tidak benar.
Catatan redaksi: Artikel ini terbit berkat kerja sama antara Alinea.id, KJI, dan ICW.