Ketua Cyber Law Center FH Universitas Padjajaran Sinta Dewi Rosadi mengatakan, pelayanan publik harus diamankan dengan pembentukan dan menggunakan standar teknis di lembaga. Hal ini bertujuan untuk melindungi data-data penting dan tidak mengalami kebocoran data.
“Layanan publik, jangan sampai kita bermaksud untuk melindungi dengan alasan pelayanan publik, tetapi akhirnya data kita kebuka ke mana-mana,” ucapnya dalam diskusi online, Kamis (22/9).
Ia mengatakan, lembaga terkait harus melakukan pembentukan perlindungan data dengan standar-standar teknik. Hal tersebut memiliki peran penting dan juga harus tepat dalam menempatkan orang-orang pada lembaganya dengan kualifikasi yang baik.
“Jadi harus ada satu standar pada lembaga yang membuat standar-standar teknis. Jadi lembaga ini memiliki satu peran yang penting dan harus dipegang sama orang-orang yang memiliki kualifikasi dalam bidang ini. Karena pekerjaannya tidak hanya mengawasi,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengungkapkan, sulit untuk melindungi data dengan sempurna, misalkan saja di sektor kesehatan. Bahkan di beeberapa negara juga masih mengalami kebocoran data, seperti di Singapura, Malaysia, Hong Kong.
“Kasus kebocoran data itu bukan hanya di Indonesia saja, di manapun terjadi dan meningkat. Tidak ada satu pun sistem keamanan yang sempurna,” ujar dia.
“Tetapi kan yang dilihat tata telolanya. Kalau dalam hukum, apakah sudah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadi data kebocoran. Lalu baru ditentukan prinsip tanggung jawabnya,” tambahnya.
Maka dari itu, ia menjelaskan bagaimana pentingnya pengamanan di dalam rezim hukum untuk melakukan perlindungan data pribadi dengan memberikan pengamanan yang tepat. Di mana ketika terjadi data kebocoran, tidak mencari pencurinya dulu. Tetapi yang dilihat secara internalnya dulu.
"Ibarat kita mengalami pencurian, kan kita melihat jendelanya dikunci atau enggak? Pintunya dibobol atau enggak? Kan kita enggak mencari pencuri, tetapi melihat internal,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia juga mengharapkan agar pemerintah jangan terus menyalahkan masyarakat Indonesia yang kurang literasinya. Hal ini dikarenakan masyarakat hanya menitipkan data kepada kementerian dan korporasi.
“Memang yang dikejar adalah korporasi, tetapi perlakuannya yang harus adil, jangan korporasi yang dicecar tetapi kementerian dan lembaga dilepaskan begitu saja, itu yang menjadi concern saya, jadi pengaturannya harus simetris,” tuturnya.
Kehadiran Undang-Undang PDP di Indonesia, menurutnya menjadikan Indonesia sebagai negara di ASEAN yang baru mengadopsi perlindungan data pribadi. Karena Malaysia dan Singapura sudah menerapkan sejak 2012 dan secara global, sudah ada 145 negara yang memiliki Undang-Undang PDP secara spesifik. Sehingga memang dari segi akademisi pernomaan rezim perlindungan data pribadi itu sudah lahir dan sudah ada.
“Saya menyambut baik karena ini tidak mudah mengatur sesuatu hal yang masih baru di Indonesia, teknisnya banyak tetapi di sini juga masih banyak tantangan-tantangan yang kita hadapi, khususnya di dalam implementasi,” kata Sinta.