Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha, tidak sepakat dengan pasal penghinaan terhadap lembaga negara dalam draf Rancangan Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana (RKUHP). Sikapnya tersebut dilandasi tiga hal.
"Argumentasi pertama, kami memakai istilah niat jahat (mens rea). Mens rea perlu dipilah lagi menjadi intent dan motive," katanya kepada Alinea, Rabu (9/6).
Dirinya lalu mencontohkan dengan si A dan si B, misalnya, menghina presiden. Karena ada kesengajaan, maka terdapat intent di dalam perbuatan mereka dan perlu dibuktikan oleh polisi dan jaksa.
Selain itu, sambung Abdul, aparat penegak hukum juga harus buktikan motif. Setelah didalami, ternyata si A menghina presiden sebagai ekspresi kekesalannya atas kegagalan bertubi-tubi presiden dalam memimpin negara dengan harapan kondisi negara bisa berlangsung lebih baik.
Sebaliknya, si B menghina sebagai pelampiasan karena diceraikan suaminya yang merupakan pendukung presiden. Penghinaan dilakukannya semata-mata untuk melegakan hati.
"Dari contoh itu bisa dilihat, bahwa dalam perbuatan yang disengaja, intent bisa sama, namun motif antarmanusia bisa berbeda," jelasnya.
Menurut Abdul, hukum tidak boleh memukul rata. Dalam contoh di atas, si A bisa dipahami sebagai orang yang sesungguhnya beriktikad baik dan peduli terhadap kondisi bangsanya lantaran penghinaan bukan dalam konteks relasi personal. Adapun si B sebaliknya, tanpa iktikad positif melainkan ekspresi personal terhadap pribadi orang lain.
"Hukuman pidana, jika pasal dimaksud jadi disahkan, hanya patut dikenakan kepada si B," katanya.
Argumentasi kedua, kedudukan semua pihak di hadapan hukum adalah sama. Dengan demikian, ketika warga bisa dipidana karena menghina lembaga negara, apakah pejabat lembaga negara juga bisa dipidana ketika, misalnya, menghina warganya.
"Bayangkan pejabat yang saking emosionalnya sampai mengeluarkan hinaan terhadap warga. Jika tidak berlaku dua arah, maka asas kesamaan di hadapan hukum sudah dinihilkan. Pasti ini bukan konstruksi hukum yang benar," tegas Abdul.
Argumentasi terakhir, penegakan hukum acap kali mengutamakan mediasi antarkedua pihak yang bertikai dan menghina satu sama lain. "Nah, bagaimana ketika penghinaan itu dilakukan masyarakat terhadap lembaga negara?" tanyanya.
"Akankah otoritas penegakan hukum juga memediasi keduanya? Adakah kesanggupan dari otoritas terkait untuk menjadi mediator ketika pihak pelapor adalah mitranya sendiri sebagai sesama lembaga negara?" tambahnya.
Apabila mediasi hanya dikenakan pada konflik antaranggota masyarakat, bagi Abdul, pantaslah dikhawatirkan bahwa instrumen hukum itu memang diadakan sebagai alat pengaman diri oleh penguasa.