Constitutional and Administrative Law Society (CALS) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR mencabut seluruh keputusan yang dikeluarkan, mentaati undang-undang dan UUD 1945, serta membatalkan pelantikan Guntur Hamzah sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian, meminta MK memberikan pendapat dan sikap jelas atas seluruh upaya serampangan yang dilakukan DPR dan Presiden untuk mengeroposi prinsip kemerdekaan MK.
Pakar hukum tata negara dari CALS, Bivitri Susanti, mengatakan, hilangnya esensi kemerdekaan MK sebagai institusi peradilan kian nyata seiring langkah DPR mencopot hakim konstitusi Aswanto di tengah jalan dan keputusan Presiden melantik Guntur Hamzah sebagai pengganti Aswanto. CALS pun mengajak publik untuk mengambil langkah nyata.
"Mengajak masyarakat secara bersama-sama melaporkan tindakan DPR dan Presiden kepada Ombudsman dan PTUN serta melakukan uji materil terhadap keppres pemberhentian hakim konstitusi Aswanto dan pelantikan Guntur Hamzah," kata Bivitri kepada Alinea.id, Rabu (23/11).
Pencopotan Aswanto oleh DPR dilakukan pada akhir September 2022. Senayan pun merekomendasikan Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah, mengisi pos tersebut.
Sejumlah akademisi dan koalisi masyarakat sipil sempat mengkritik keputusan tersebut. Nahas, tidak dihiraukan lantaran Presiden Jokowi belakangan melantik Guntur Hamzah.
"Tanpa publikasi dan secara diam-diam, Presiden telah mengeluarkan keputusan presiden (keppres) untuk melantik Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi pengganti Aswanto," ujarnya.
Bivitri menyebut, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, telah mengeluarkan surat undangan untuk menghadiri pelantikan dan pengambilan sumpah Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi, pada hari ini. Hal tersebut dinilai sebagai bukti nyata MK tidak lagi berdiri sebagai sebuah kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai amanat UUD 1945.
Menurutnya, skenario terstruktur ini telah terlihat jelas dari pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 poin [3.22], yang ditafsirkan berbeda oleh DPR. Namun, tidak sama sekali diklarifikasi oleh MK maupun Presiden. Upaya pelaporan Ketua Komisi III DPR kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang dilakukan koalisi masyarakat sipil juga ditolak. "Karena dianggap bukan merupakan pelanggaran etik."
Selain itu, kata Bivitri, laporan kepada Ombudsman atas tindakan malaadministrasi yang dilakukan DPR juga hanya direspon sebatas formalitas dan tidak ditindaklanjuti dengan serius. Dirinya pun berpendapat, dilantiknya Guntur Hamzah merupakan bukti MK telah menjadi subordinasi tiga lembaga yang berwenang mengusulkan hakim konstitusi.
Baginya, pencopotan hakim konstitusi Aswanto dengan menabrak UU MK juga menjadi preseden buruk bagi sistem peradilan Indonesia. Kemerdekaan MK pun hilang lantaran akan memengaruhi keputusan-putusan pengujian undang-undang (PUU) ke depannya dan berpotensi menjadi "stempel konstitusional" kepada setiap produk legislasi yang dihasilkan DPR dan Presiden.
"Pada akhirnya, upaya menciptakan sistem check and balances dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia melalui kehadiran Mahkamah Konstitusi menjadi perjuangan panjang yang diruntuhkan oligarki," jelasnya.