Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) mendesak DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat. Ini demi melindungi masyarakat hukum adat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.
"Eksistensi masyarakat hukum adat ini salah satunya menjaga kearifan lokal atau menjaga tanah ulayatnya terkandung dalam RUU Masyarakat Hukum Adat," ucap Ketua Umum APHA, Laksanto Utomo, dalam keterangannya, Selasa (25/10).
Dirinya menerangkan, masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan secara turun-temurun. Dengan demikian, mereka dapat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan sekaligus memitigasi bencana.
Lebih jauh, Laksanto menerangkan, RUU Masyarakat Hukum Adat secara garis besar mengatur pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dengan tahapan identifikasi, verifikasi, validasi, dan penetapan oleh menteri terkait.
Penetapan itu pun dapat dievaluasi pemerintah pusat. Lalu, negara juga dimandatkan memberikan pelindungan dalam bentuk jaminan terhadap pelaksanaan hak masyarakat hukum adat.
"Pembentukan RUU ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk memberikan kepastian hukum atas pengakuan keberadaan masyarakat adat," ucapnya.
Selain mendorong pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat, APHA meminta pemerintah melibatkan masyarakat adat dalam pemberian izin usaha serta dalam pengawasan aktivitas pertambangan, perkebunan, dan lainnya di wilayah tanah adat. Baginya, masyarakat adat mestinya menikmati hasil SDA yang ada di tanah ulayatnya.
RUU Masyarakat Hukum Adat, yang diusulkan dua anggota Fraksi Partai NasDem DPR asal Sulsel dan Papua, sudah dibahas parlemen sejak periode 2014-2019. Pun telah disetujui Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rapat pleno, 4 September 2020.
Meskipun demikian, RUU Masyarakat Hukum Adat belum disahkan DPR melalui rapat paripurna hingga kini. Wakil Ketua Baleg DPR, Willy Aditya, menyatakan, RUU tersebut belum diketok dalam forum tertinggi parlemen lantaran ada fraksi menolaknya dengan berbagai dalih, seperti bertentangan dengan UU Cipta Kerja (Ciptaker).
"Memang ada sedikit tarik-tarikanlah karena ada satu fraksi yang belum bersepakat untuk hal itu dilanjutkan kembali. Alasan tarik-tarikan karena bertentangan dengan UU Cipta Kerja," ucap politikus NasDem ini dalam pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI 2022 di Kabupaten Jayapura, Papua, pada Senin (24/10).