Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai, upaya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu bentuk perusakan terhadap lembaga antirasuah.
Lantaran proses pembahasan RUU KPK dinilai begitu cepat. Seharusnya kata Bivitri, Presiden Joko Widodo memahami dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu yang tidak singkat.
"Waktu sudah menunjukan kurang dari 10 hari, kan tidak mungkin bahas Undang-Undang secara baik," kata Bivitri, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (14/9).
Di samping itu, Bivitri juga menilai untuk merumuskan Undang-Undang perlunya partisipasi masyarakat. Aturan tersebut sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
"Jadi pembahasan UU itu semestinya parstisipatif. Mestinya kita dilibatkan. Jadi di atas kertas masyarakat bisa saja minta rapat dengan DPR karena kan ada rapat dengar pendapat," ucap dia.
Namun demikian, dia menilai hal itu mustahil untuk dilakukan DPR RI. Bagi Bivitri, terlihat sekali DPR ingin merusak KPK.
Sehingga dibuat seperti ini, dengan waktu yang mepet masyarakat menjadi tidak ada waktu buat intervensi gitu.
"Sekarang saja sudah Panja. Jadi saya duga hari Selasa sudah diketok," ujarnya.
Meski begitu, Bivitri menilai masih ada harapan untuk masyarakat menggugat RUU KPK. Salah satunya dengan cara mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi jika RUU tersebut sudah disahkan.
"Kalau sudah jadi UU masih ada lagi peluang. Kalau standarnya jika RUU sudah disahkan bisa dilakukan review untuk diajukan ke MK kan. Itu yg paling utama dan sudah keliatan. Contohnya UU MD3, UU usia minimum perkawinan, itu kan hasil judicial review ke MK," terang Bivitri.
Selain itu, merujuk pada temuan Ombudsman RI yang mengendus adanya indikasi pelanggaran prosedural dalam terbitnya Surat Presiden (Supres). Maka publik bisa mengugat proses pembahasan RUU KPK.
"Masih ada perlawanan, karena mba Ninik dari Ombudsman sudah bilang ada pelanggaran prosedur. Itu mungkin yang bisa dilakukan untuk menyatakan masyarakat sipil tidak setuju," tutup dia.
Di hubungi terpisah, Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu menilai, terdapat indikasi pelanggaran prosedur dalam terbutnya Surpres bernomor 42/2019 terkait RUU KPK. Setidaknya ada dua hal yang dirasa janggal oleh dirinya terkait Supres tersebut.
"Pertama, saya berpendapat keluarnya surpres revisi UU KPK ini menurut saya ada yg aneh, karena hanya menugaskan Menkumham dan Menpan. Selayaknya Supres revisi UU lainnya, biasanya melibatkan kementrian atau lembaga terkait," kata Ninik.
Seharusnya, kata Ninik, Presiden Joko Widodo dapat melibatkan KPK sebagai lembaga yang akan menerapkan peraturan perundang-undangan tersebut. Tujuannya, untuk meminimalisir cacat prosedur.
"Selain itu, sesuai dengan pedoman penyusunan perundangan, pembahasan ini harus mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil dan berbagai pihak yang concern," terang Ninik.
Kedua, sambung Ninik, DPR RI dan pemerintah harus dapat memaparkan ke publik ihwal daftar inventaris masalah. Dia menyarankan agar DPR RI dan pemerintah tidak gegabah untuk merumuskan suatu aturan dalam UU KPK.
"Hal ini untuk menghindari adanya JR (judicial review) ketika revisi sudah ditetapkan. Buka ruang dialog yang seluas luasnya, tidak terburu-buru," tutup Ninik.