Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan menolak uji materi (judicial review/JR) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPUU). Dalihnya, penyusunan regulasi tersebut telah sesuai dengan mandat reformasi 1998.
"Dalam reformasi 1998 itu ada tiga hal. Pertama, penataan lembaga negara; kedua, penataan perundang-undangan; dan ketiga, penataan produk lembaga negara," kata Wakil Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, Selasa (15/8).
"Ketiga hal tersebut mempersepsikan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Sehingga, kewenangannya mengeluarkan TAP MPR juga harus relevan, tidak lagi," imbuhnya.
Habiburokhman melanjutkan, ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah agar TAP MPR ditempatkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Ini sesuai kutipan risalah beberapa rapat pembahasan Rancangan UU 12/2011.
"Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 setelah amendemen menyatakan, 'Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar'. Supremasi konstitusi, perubahan kedudukan MPR, serta munculnya lembaga negara lain sebagai pelaku kedaulatan rakyat menunjukkan bahwa ide dasar penataan struktur negara dalam UUD NRI Tahun 1945 dilandaskan pada konsep hubungan checks and balances," tuturnya.
"Untuk menguatkan konsep checks and balances serta utamanya demi menjamin supremasi konstitusi, maka dimunculkan lembaga pengadilan konstitusional, yaitu MK," imbuhnya, mengutip situs web DPR.
Ia menambahkan, merujuk Pasal 3 UU 13/2019, MPR adalah lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Dengan demikian, MPR tidak dapat lagi disebut sebagai lembaga tertinggi negara yang kedudukannya lebih tinggi dari lembaga negara lainnya.
"Dalam kalimat lain, MPR mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Perubahan paradigma kelembagaan MPR ini turut memengaruhi kewenangan MPR mengeluarkan Ketetapan MPR karena MPR tidak dapat lagi mengeluarkan Ketetapan MPR," urainya.
Karenanya, Habiburokhman selaku perwakilan DPR berharap MK menolak seluruh permohonan pemohon. Setidaknya menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
Uji materi UU PPUU diajukan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) sekaligus pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra. Gugatan terdaftar dalam Nomor Perkara 66/PUU-XXI/2023.
Yusril meminta MK menyatakan penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPUU bertentangan dengan UUD 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Penjelasannya tersebut berisikan, "Yang dimaksud dengan 'Ketetapan MPR' adalah Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR RI Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 1960-2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Ia beralasan, TAP MPR 1/MPR/2023 hanya membuat klasifikasi tentang Ketetapan-Ketetapan MPRS/MPR yang berlaku dan tidak. Dengan demikian, tidak menjelaskan apakah MPR masih berwenang menerbitkan ketetapan baru.