Jaksa Agung, Sanitiar (ST) Burhanuddin, menyatakan, ada kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum pelanggaran pemilu. Hal ini disebut mengganggu kinerja Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), yang beranggotakan kejaksaan, Polri, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Kendala dalam penanganan perkara tindak pidana pemilu masih kerap terjadi, khususnya terhadap delik yang diancam pidana penjara di bawah 5 tahun, yang tidak dapat dilakukan penahanan," katanya dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (16/11).
Menurutnya, ada celah dalam ancaman pidana di bawah 5 tahun sehingga dimanfaatkan para pelaku untuk terhindar dari jerat hukum. Dicontohkannya dengan mengulur-ulur proses penanganan perkara sehingga kedaluwarsa lantaran melewati batas waktu.
"[Batas waktu penangan perkara] seringkali menjadi celah hukum yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghindari jerat hukum dengan cara mengulur waktu proses penanganan perkara tindakan pemilu dan pemilihan," tuturnya.
Guna memaksimalkan penanganan perkara, Burhanuddin menyampaikan, kejaksaan akan mengintensifkan koordinasi dengan unsur Sentra Gakkumdu lainnya. Harapannya, ada kesepahaman sehingga penanganan perkara tindak pidana pemilu lebih cepat dan tepat guna.
Usul restorative justice
Pada kesempatan sama, anggota Komisi III DPR, Supriansa, mengusulkan Kejagung menerapkan keadilan restoratif (restorative justice) dalam menangani tindak pidana pemilu, termasuk politik uang. Dalihnya, kondisi lapas dan penjara sudah overkapasitas.
"Restorative justice ini bisa menjawab [masalah] penjara overkapasitas," dalihnya. Politikus Partai Golkar itu sesumbar, Kejagung akan menyelematkan demokrasi jika mengedepankan keadilan restoratif.
Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga masing-masing, hingga pemangku kepentingan untuk menyelesaikan perkara secara adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Dasar hukumnya dalam Pasal 310 KUHP, Pasal 205 KUHAP, dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012.
Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif adalah pelanggaran Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 483 KUHP atau pelaku terancam penjara maksimal 3 bulan atau denda Rp2,5 juta. Pun bisa diterapkan dalam menyelesaikan tindak pidana anak, perempuan yang berhadapan dengan hukum, narkotika, informasi dan transaksi elektronik (ITE), dan lalu lintas.
Usul senada disampaikan anggota Komisi III DPR asal Fraksi Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto. Ia meyakini kejaksaan lebih siap memberlakukan keadilan restoratif pada penanganan tindak pidana Pemilu 2024.
"Saya percaya tahun 2024 ini, kejaksaan lebih siap menjalankan restorative justice," ucapnya.
Anggota Komisi III DPR, Sarifudin Sudding, juga menyatakan hal senada. Dicontohkannya dengan banyaknya kepala desa yang terjerat kasus penyimpangan dana desa karena ketidaktahuan dalam pengelolaannya.
"Saya minta ada instruksi yang jelas diberikan ke bawah, bahwa ketika ada yang dianggap penyalahgunaan di bawah Rp100 juta, misalnya, dilakukan RJ (restorative justice) dengan syarat dikembalikan,” tuturnya.
"Masih ada kepala desa [yang dananya] dikembalikan, tapi masih dipanggil bolak-balik bahkan ada upaya pemerasan. Hal tindakan seperti ini agar ditertibkan," imbuh politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.