Direktur Eksekutif lembaga think-tank Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2014-2019 adalah yang terburuk pasca-reformasi.
Salah satu faktor penting yang menjadi tolak ukur penilaian negatif tersebut karena banyaknya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) molor. Bahkan juga terkesan dipaksakan untuk selesai dengan sistem kebut semalam.
“Pertama dari agenda prolegnas yang dibuat sejak 2015 menyangkut UU apa saja yang akan diselesaikan oleh DPR, namun nyatanya tidak ada satu pun yang diselesaikan sampai masa bakti DPR periode tersebut berakhir per 1 Oktober kemarin,” kata Fabby sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (8/10).
Menurut dia, salah satu UU yang semestinya dapat diselesaikan dan tergolong penting ialah UU Minyak dan Gas (Migas). Dia menuturkan, UU Migas sudah tiga kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Poin-poin yang digugat dalam UU tersebut pun rata-rata sudah obsolete atau usang.
"Sejak naskah akademiknya disusun dari 2006 lalu, UU ini tak kunjung disahkan. Ini yang membuat investasi sektor migas kita terus turun karena tidak adanya kepastian dari segi regulasi," katanya.
Sedangkan UU yang terkesan dikebut yakni UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Seperti diketahui, prosesnya dikerjakan dalam tiga hari sebelum DPR periode 2014-2019 berakhir. Serta RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang sudah didorong masuk ke DPR, namun tak ada kelanjutannya.
"Jadi kalau kita lihat dari kinerja legislasi itu tidak ada yang tercapai," ucapnya.
Selain terkait produktivitas kinerja, Fabby juga menyoroti ihwal sejumlah anggota dewan yang terseret kasus korupsi. Lebih-lebih ketuanya pun turut terseret perkara rasuah. “Bahkan Ketua DPR RI sendiri menjadi pelaku kasus papa minta saham yang sempat heboh waktu itu,” katanya.
Terakhir, dari sisi fungsi pengawasan yang harusnya melekat pada DPR RI sendiri. Hilangnya fungsi pengawasan dari DPR RI salah satunya dapat ditinjau dari kasus suap proyek PLTU Riau-1.
"DPR harusnya jadi pengawas eksekutif, tapi justru dalam hal ini malah terlibat dalam praktik-praktik yang tidak benar," ujarnya.
Menurut Fabby, semua catatan merah tersebut semakin memberatkan tanggung jawab anggota DPR RI periode selanjutnya. Ditambah banyaknya pekerjaan rumah hasil kebijakan kebut semalam yang harus segera dibereskan.
“Kita terus terang kecewa terhadap DPR pada periode lalu, semoga periode selanjutnya bisa lebih baik,” ucapnya.