Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, angkat bicara mengenai pencopotan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto oleh DPR. Kasus ini kembali mencuat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik pengganti Aswanto, yakni Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Guntur Hamzah.
Menurut Dasco, pencopotan Aswanto dari hakim MK sudah melalui mekanisme di DPR yang menjalankan fungsi pengawasan. Meski Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) menentukan usia seorang hakim, namun DPR memiliki wewenang untuk mencopot Aswanto.
"Komisi teknis, dalam hal ini Komisi III, sudah melakukan evaluasi-evaluasi, kemudian keputusan pleno Komisi III mengatakan bahwa rekomendasi fit and propert (test) yang bersangkutan itu (Aswanto) rekomendasinya dicabut," ujar Dasco di komplek Parlemen, Senayan, Jumat (25/11).
Dasco menuturkan, hasil pleno Komisi III DPR yang mengatakan rekomendasi uji kelayakan dan kepatutan Aswanto dicabut kemudian di bawa ke rapat paripurna DPR. Selanjutnya dikirim ke Presiden Jokowi.
"Nah, sehingga fungsi-fungsi pengawasan sesuai dengan UU MD3 sudah dijalankan. Memang mengenai masa jabatan dalam UU MK ada jangka waktu tetapi dari hasil pengawasan itu diputuskan kemudian tidak diteruskan sampai waktunya habis," tandasnya.
Diketahui, pada akhir September, paripurna DPR telah menyepakati usulan Komisi III DPR untuk memberhentikan Aswanto. Saat bersamaan, Komisi III DPR mengangkat Guntur Hamzah, sebagai pengganti Aswanto.
Namun, menurut Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan, pemberhentian Aswanto inkonstitusional, sebab tak terdapat satu pun ketentuan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk memberhentikan hakim konstitusi.
Selain itu, pemberhentian di tengah jalan hakim Konstitusi pun tidak dibenarkan tanpa ada pemenuhan syarat-syarat yang diatur dan dijelaskan dalam Undang Undang MK.
"Jadi, berpijak pada fakta itu, semakin jelas bahwa DPR dan presiden sengaja untuk melupakan aturan-aturan tersebut untuk memuluskan niat jahat mengintervensi MK," ujar Kurnia Ramadhana, perwakilan koalisi kepada Alinea.id, Rabu (23/11).
Menurut Kurnia, regulasi tidak memberikan keleluasaan DPR untuk menggunakan logika ‘ownership’ dalam hubungannya dengan MK. Artinya, DPR tidak dapat mengganti Hakim Konstitusi sebelum masa jabatannya berakhir, walaupun hakim tersebut merupakan usulan DPR.
Bila dipaksakan, tindakan DPR yang sewenang-wenang tersebut akan berdampak pada prinsip imparsialitas dan kemandirian MK. Hal ini juga akan berujung pada melemahnya komitmen Indonesia terhadap konsep negara hukum yang telah ditegaskan pasca reformasi.