Anggota Komisi III DPR Taufik Basari menegaskan, DPR akan segera merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal ketentuan legalisasi ganja untuk keperluan medis. Menurut Taufik, MK menyebutkan bahwa legalisasi ganja tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang (DPR dan pemerintah).
"Saya berpandangan pemerintah dan DPR wajib menindaklanjuti pertimbangan putusan MK tersebut dengan menjadikan materi tentang pemanfaatan ganja sebagai layanan kesehatan atau terapi dalam pembahasan revisi UU Narkotika yang sedang berlangsung," ujar Taufik kepada wartawan, Rabu (20/7).
MK sebelumnya menolak permohonan judicial review (JR) atau uji materi atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Permohonan judicial review ini berkaitan dengan penggunaan ganja medis untuk kesehatan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan tidak berwenang mengadili materi yang dimohonkan, karena hal itu bagian dari kebijakan terbuka DPR dan pemerintah.
Dengan demikian, perlu pengkajian secara mendalam apakah benar ganja memang bisa digunakan untuk medis, sebab hal itu bagian dari open legal policy.
Menurut Taufik, terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan DPR dan pemerintah dalam putusan MK Nomor 106/PUU-XVIII/2020 terkait uji materi Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika. Pertama, kebijakan narkotika khususnya dalam hal narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, MK menyatakan hal tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang atau open legal policy.
Kedua, MK menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti putusan tersebut khususnya berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis narkotika golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi.
Politikus Partai Nasdem ini mengatakan, hasil penelitian tersebut dapat digunakan dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud.
"MK memberikan penekanan pada kata 'segera' dalam putusannya dengan memberikan huruf tebal menunjukkan urgensi terhadap hasil pengkajian yang dilakukan pemerintah," ujar Taufik.
Dalam pengkajian tersebut, Taufik pun menyarankan agar pemerintah juga merujuk pada kajian yang telah ada di tingkat internasional termasuk kajian dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD). Pasalnya pada 2019, ECDD merekomendasikan kepada the Commission on Narcotics Drugs (CND) yang dibentuk UN Ecosoc dan WHO agar menjadikan cannabis atau ganja sebagai golongan narkotika yang dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan.
"Rekomendasi itu mengubah Convention on Narcotics Drugs pada 1961 dan telah disetujui melalui mekanisme voting di CND. Dengan demikian, kajian dapat dilakukan dengan segera sesuai penegasan putusan MK," jelas Taufik.
Lebih lanjut, Taufik mengatakan, pembahasan materi legalisasi ganja untuk medis pada revisi UU Narkotika akan dilakukan pengaturan yang komprehensif merujuk pada pertimbangan hukum Putusan MK. Menurut dia, pelarangan, pengendalian dan pemanfaatan narkotika jenis tertentu untuk kepentingan medis dapat dimuat normanya dalam UU.
"Sementara ketentuan teknis lainnya dapat diatur dalam aturan turunannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berjalan. Dengan begitu maka beberapa narkotika yang memiliki sifat ketergantungan tinggi tetap bisa dikontrol dengan ketat sembari dimanfaatkan untuk pelayanan Kesehatan dengan mekanisme yang ketat pula," kata dia.
Taufik menuturkan, masalah yang dihadapi para pemohon uji materil di MK terutama Santi Warastuti dan Dwi Pertiwi serta peristiwa yang pernah dialami Fidelis beberapa tahun lalu merupakan masalah kemanusiaan. Bahkan, penggunaan ganja untuk kebutuhan terapi mungkin juga banyak yang membutuhkan sehingga perlu dicarikan solusi dan jalan keluarnya.
"Karena itu langkah segera pasca-Putusan MK ini harus dilakukan dengan tetap berpikiran terbuka dan berpedoman pada perkembangan ilmu pengetahuan," pungkas Taufik.