Keputusan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menghapus aturan kapasitas angkutan penumpang maksimal 50% di tengah pandemi Covid-19, dinilai sangat berbahaya. Hal tersebut dapat memicu terjadinya penularan Covid-19 dan semakin tingginya angka kasus Covid-19 di Indonesia.
"Penularan terjadi di mana saja. Apalagi di transportasi umum. Saya melihat ini agak ngeri. Tidak ada pembatasan. Saya yakin akan naik lagi angkanya," kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Zita Anjani, di Jakarta, Rabu (10/6).
Zita menjelaskan, sudah ada beberapa bukti kasus penularan dan penyebaran Covid-19 yang terjadi di transportasi publik, termasuk yang terjadi di Padang, Sumatera Barat. Selain itu, pada Mei ada tiga penumpang KRL Jakarta-Bogor positif Covid-19.
"Itu waktu pembatasan, tetap masih tertular. Apalagi kalau tidak dibatasi," ujarnya.
Menurutnya, DKI Jakarta merupakan satu-satunya daerah yang paling terdampak dari kebijakan penghapusan aturan kapasitas penumpang 50%.
Pasalnya, DKI merupakan pintu masuk dari segara penjuru daerah dengan beragam jenis moda transportasi yang tersedia saat ini.
"Nah, yang paling babak belur pasti DKI Jakarta. Pesawat paling banyak ke sini, kereta juga ke sini, terus bus juga ke sini. Belum kita bicara penyebaran di satu wilayah," katanya.
"Bagi pemerintah daerah yang berhadapan langsung dengan masyarakat, pasti merasakan ini sebagai kebijakan yang membebani. Pemerintah daerah bingung, warga juga. Kapasitas maksimal tidak dicantum, hanya disuruh membatasi jumlah dan jaga jarak, tidak ada angka pasti," lanjutnya.
Apalagi Jakarta telah menerapkan PSBB transisi yang kemudian diikuti dengan pembukaan kegiatan ekonomi sejumlah sektor, maka akan sangat sulit untuk mengawasi pergerakan masyarakat. Pasalnya, pekerja atau karyawan perusahaan dan masyarakat akan banyak berkegiatan di luar rumah, tidak seperti saat PSBB.
"Sekarang kantor dan kegiatan lain sudah aktif lagi, orang mulai ke luar rumah. Kalau tidak dibatasi, sangat berbahaya. Pak Anies harus benar-benar menyiapkan tenaga kesehatan untuk mengawal ini di Jakarta. Khususnya di angkutan umum skala besar seperti bus TransJakarta atau KAI. Minimal secara alamiah, orang akan memilih sendiri untuk naik moda transportasi publik yang punya pengawasan tenaga kesehatan," tandasnya.
Diketahui sebelumnya peraturan tentang kapasitas angkutan baik darat, laut, udara maupun kereta api tidak lagi dibatasi maksimal 50%. Hal itu setelah penerbitan Peraturan Menteri Nomor 41 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19 yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) pada tanggal 8 Juni 2020.
"Menindaklanjuti Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju masyarakat Produktif dan Aman COVID-19, Kemenhub telah menerbitkan aturan pengendalian transportasi yang merupakan revisi dari Permenhub 18/2020," kata Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (9/6).
Dalam kesempatan itu, Menhub mengatakan tetap memprioritaskan pencegahan penyebaran Covid-19 bagi masyarakat selama menggunakan transportasi umum.
"Pengendalian transportasi yang dilakukan menitikberatkan pada aspek kesehatan, karena kami berupaya untuk menyediakan transportasi agar masyarakat baik itu petugas transportasi maupun penumpang tetap bisa produktif, namun tetap aman dari penularan Covid-19 sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo," jelasnya.