Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan mencabut Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 55 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan atau aturan mengenai kenaikan tarif sejumlah rumah susun (rusun).
Pada Pergub yang telah diundangkan 7 Juni 2018 dan ditandatangani langsung Anies Baswedan, tercatat ada 19 rusun yang harus mengalami kenaikan tarif, pada golongan rusun untuk masyarakat umum maupun rusun program pemerintah.
Kenaikan tarif berkisar diangka 20% bila merujuk pada aturan sebelumnya, yakni Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah.
Bila sebelumnya penghuni rusun Cakung Barat untuk kategori rusun program pemerintah dibebani tarif Rp230.400 per bulan, maka dengan terbitnya Pergub 55, akan naik menjadi Rp343.200 per bulan.
Rusun Jati Rawa Sari untuk kategori rusun masyarakat umum dengan tarif termahal Rp578.400 per bulan, dengan Pergub tersebut naik menjadi Rp705.600 per bulan.
Pergub itu juga menyebutkan rusun Pulogebang mengalami kenaikan tarif paling tinggi, mencapai 30%. Bila sebelumnya penghuni dibebani tarif Rp273.000 per bulan, dengan Pergub tersebut naik menjadi Rp327.600 per bulan.
Meski demikian, hari ini Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman DKI Jakarta, Meli Budiastuti, memastikan kenaikan tarif tersebut akan dikaji ulang sesuai dengan arahan Gubernur Anies Baswedan.
"Jadi untuk sementara Pergub ini, istilahnya di-hold dulu, dicabut dulu lah," ungkapnya di Balai Kota Jakarta, Kamis (16/8).
Anggota Komisi Pembangunan DPRD DKI Jakarta Bestari Barus, mengapresiasi keputusan Gubernur Anies untuk mencabut Pergub tentang kenaikan tarif rusun tersebut. Menurutnya, sudah sejak awal ia menyampaikan tak setuju bila tarif rusun dinaikkan. Terlebih tanpa kajian yang matang.
"Karena dampaknya kepada masyarakat kecil. Makanya ini ada apa, apa sekedar ingin mengejar target menaikkan APBD dari Rp77 triliun menjadi Rp80 triliun," ungkapnya.
Pernyataan serupa disampaikan Ketua Fraksi PDI Perjuangan Gembong Warsono. Ia mengatakan, pencabutan Pergub tersebut menjadi bukti ketidakmatangan Gubernur DKI Jakarta dalam mengeluarkan sebuah kebijakan.
"Saya berharap ketika suatu kebijakan bersinggungan langsung dengan wong cilik, warga miskin, harus dipikirkan dengan matang. Tidak bisa main-main kalau soal hajat hidup," terangnya kepada Alinea.
Sebelumnya, sambung Gembong, Anies juga telah melakukan hal yang sama. Mengkaji kebijakan menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di sejumlah wilayah di Ibukota, hingga akhirnya meminta Badan Pajak dan Retribusi Daerah mengkaji ulang kebijakan tersebut.
"Padahal sudah ada warga di luar zonasi kenaikan yang ditetapkan terimbas. Nah ini bagaimana, katanya mau dikaji ulang juga kan. Saya semangati Pak Gubernur agar mematangkan semuanya sebelum mengeluarkan kebijakan lah," tandasnya.