Drama putus kontrak BPJS Kesehatan dan nasib pasien rumah sakit
Amron Trisnardi, salah seorang pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, menerima telepon dari seseorang yang mengatasnamakan Rumah Sakit Dr. Suyoto, Bintaro, Jakarta Selatan, Rabu (1/5). Ia diminta datang ke rumah sakit keesokan harinya.
Rupanya, tak hanya Amron. Pasien BPJS Kesehatan RS Dr. Suyoto yang lainnya juga mendapatkan informasi serupa.
"Saya datangnya agak telat. Waktu saya datang, saya lihat wajah teman-teman yang lain sudah sangat tegang," kata Amron saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (7/5).
Kabar tak menyenangkan didapat Amron dan peserta BPJS Kesehatan lainnya. Pihak rumah sakit mengumumkan, kontrak kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit sudah diputus.
RS Dr. Suyoto merupakan satu dari 11 rumah sakit di Jakarta yang diputus kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Pemutusan kontrak ini diambil karena 11 rumah sakit itu belum menuntaskan proses perpanjangan akreditasi.
Masalah pemutusan kontrak kerja sama BPJS Kesehatan dengan rumah sakit sempat heboh pada akhir 2018. Ketika itu, dari 2.430 rumah sakit yang bekerja sama ada 720 rumah sakit yang belum memperpanjang akreditasi. Lantas, saat itu, Kementerian Kesehatan memberikan kelonggaran untuk melakukan akreditasi hingga Juni 2019.
Sulit pindah rumah sakit
Pemutusan kontrak kerja sama ini tentu membuat sebagian besar pasien yang mengandalkan biaya pengobatan melalui BPJS Kesehatan menjadi khawatir. Terutama pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan khusus, seperti pasien cuci darah atau hemodialisa.
Amron merupakan salah seorang pasien cuci darah di rumah sakit Dr. Suyoto. Sejak 2014, Amron sangat mengandalkan perawatan di layanan BPJS Kesehatan. Sudah 11 tahun ia menderita gagal ginjal kronis. Kesehatannya tergantung pada proses cuci darah, yang dilakukan setiap dua minggu sekali, dan sudah dijalankan selama tujuh tahun terakhir.
Namun, dibandingkan teman-temannya, Amron lebih beruntung. Sebab, jadwal cuci darahnya bertepatan sehari setelah pemutusan kontrak kerja sama. Jadi, ada waktu untuk mengurus perpindahan fasilitas BPJS-nya ke rumah sakit yang baru.
Pada Jumat (3/5), Amron mengurus segala prosedur, agar kesehatan dirinya tak terganggu. Wajar saja ia khawatir, karena rumah sakit yang menyediakan layanan hemodialisa sangat terbatas.
"Sempat khawatir, karena seharian tidak dapat rumah sakit. Padahal besoknya mau hemodialisa," kata Amron.
Meski ada jeda sehari, tetapi tak mudah mengurus segala administrasi mengalihkan fasilitas kesehatan. Amron terpaksa mengalihkan fasilitas kesehatan ke rumah sakit baru di Tangerang Selatan.
Sementara, pihak RS Dr. Suyoto tak berkenan mengeluarkan secara daring perpindahan fasilitas kesehatan, karena kontrak BPJS Kesehatan sudah diputus. Sedangkan untuk mendapat akses pelayanan BPJS Kesehatan, rumah sakit yang baru belum ada jaminan, apalagi rujukan perpindahan fasilitas kesehatan tak dikeluarkan. Imbasnya, rumah sakit yang baru kesulitan melakukan klaim BPJS Kesehatan.
Salah seorang staf humas RS Dr. Suyoto yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, pihak rumah sakit mendapat kabar pemutusan kerja sama dengan BPJS Kesehatan pada 1 Mei 2019 malam.
Sebelum pemutusan kontrak itu, ia mengatakan, RS Dr. Suyoto sempat beberapa kali berkonsultasi terkait jadwal akreditasi. Namun, karena sesuatu hal, membuatnya terkendala dan diundur menjadi 14 Mei 2019.
"Jadi akreditasinya akan dilakukan 14 Mei 2019, Selasa mendatang," ujar dia.
Mengingat banyaknya pasien BPJS Kesehatan yang ditangani RS Dr. Suyoto, ia mengatakan, pihak rumah sakit mengambil langkah strategis. Salah satunya dengan memperkecil volume jumlah pasien yang ditangani, tetapi tetap melayani pasien prioritas.
Amron Trisnardi, salah seorang pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, menerima telepon dari seseorang yang mengatasnamakan Rumah Sakit Dr. Suyoto, Bintaro, Jakarta Selatan, Rabu (1/5). Ia diminta datang ke rumah sakit keesokan harinya.
Rupanya, tak hanya Amron. Pasien BPJS Kesehatan RS Dr. Suyoto yang lainnya juga mendapatkan informasi serupa.
"Saya datangnya agak telat. Waktu saya datang, saya lihat wajah teman-teman yang lain sudah sangat tegang," kata Amron saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (7/5).
Kabar tak menyenangkan didapat Amron dan peserta BPJS Kesehatan lainnya. Pihak rumah sakit mengumumkan, kontrak kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit sudah diputus.
RS Dr. Suyoto merupakan satu dari 11 rumah sakit di Jakarta yang diputus kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Pemutusan kontrak ini diambil karena 11 rumah sakit itu belum menuntaskan proses perpanjangan akreditasi.
Masalah pemutusan kontrak kerja sama BPJS Kesehatan dengan rumah sakit sempat heboh pada akhir 2018. Ketika itu, dari 2.430 rumah sakit yang bekerja sama ada 720 rumah sakit yang belum memperpanjang akreditasi. Lantas, saat itu, Kementerian Kesehatan memberikan kelonggaran untuk melakukan akreditasi hingga Juni 2019.
Sulit pindah rumah sakit
Pemutusan kontrak kerja sama ini tentu membuat sebagian besar pasien yang mengandalkan biaya pengobatan melalui BPJS Kesehatan menjadi khawatir. Terutama pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan khusus, seperti pasien cuci darah atau hemodialisa.
Amron merupakan salah seorang pasien cuci darah di rumah sakit Dr. Suyoto. Sejak 2014, Amron sangat mengandalkan perawatan di layanan BPJS Kesehatan. Sudah 11 tahun ia menderita gagal ginjal kronis. Kesehatannya tergantung pada proses cuci darah, yang dilakukan setiap dua minggu sekali, dan sudah dijalankan selama tujuh tahun terakhir.
Namun, dibandingkan teman-temannya, Amron lebih beruntung. Sebab, jadwal cuci darahnya bertepatan sehari setelah pemutusan kontrak kerja sama. Jadi, ada waktu untuk mengurus perpindahan fasilitas BPJS-nya ke rumah sakit yang baru.
Pada Jumat (3/5), Amron mengurus segala prosedur, agar kesehatan dirinya tak terganggu. Wajar saja ia khawatir, karena rumah sakit yang menyediakan layanan hemodialisa sangat terbatas.
"Sempat khawatir, karena seharian tidak dapat rumah sakit. Padahal besoknya mau hemodialisa," kata Amron.
Meski ada jeda sehari, tetapi tak mudah mengurus segala administrasi mengalihkan fasilitas kesehatan. Amron terpaksa mengalihkan fasilitas kesehatan ke rumah sakit baru di Tangerang Selatan.
Sementara, pihak RS Dr. Suyoto tak berkenan mengeluarkan secara daring perpindahan fasilitas kesehatan, karena kontrak BPJS Kesehatan sudah diputus. Sedangkan untuk mendapat akses pelayanan BPJS Kesehatan, rumah sakit yang baru belum ada jaminan, apalagi rujukan perpindahan fasilitas kesehatan tak dikeluarkan. Imbasnya, rumah sakit yang baru kesulitan melakukan klaim BPJS Kesehatan.
Salah seorang staf humas RS Dr. Suyoto yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, pihak rumah sakit mendapat kabar pemutusan kerja sama dengan BPJS Kesehatan pada 1 Mei 2019 malam.
Sebelum pemutusan kontrak itu, ia mengatakan, RS Dr. Suyoto sempat beberapa kali berkonsultasi terkait jadwal akreditasi. Namun, karena sesuatu hal, membuatnya terkendala dan diundur menjadi 14 Mei 2019.
"Jadi akreditasinya akan dilakukan 14 Mei 2019, Selasa mendatang," ujar dia.
Mengingat banyaknya pasien BPJS Kesehatan yang ditangani RS Dr. Suyoto, ia mengatakan, pihak rumah sakit mengambil langkah strategis. Salah satunya dengan memperkecil volume jumlah pasien yang ditangani, tetapi tetap melayani pasien prioritas.
Masih bisa melayani pasien
Menanggapi keluhan pasien yang sudah telanjur diputus fasilitas layanan BPJS-nya, Kementerian Kesehatan bersama BPJS Kesehatan, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS), dan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) membuat kesepakatan agar pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak telantar.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo mengatakan, rumah sakit yang sedang melakukan akreditasi ulang, boleh memberikan pelayanan kesehatan terhadap peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
"Terhadap rumah sakit yang sudah disurvei akreditasi ulang dan menunggu pengumuman hasil survei, dapat memberi pelayanan dalam ruang lingkup JKN-KIS," kata Bambang di kantor Kementerian Kesehatan, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (7/5).
Ada dua kategori yang diprioritaskan Kementerian Kesehatan untuk diberi pelayanan dari pihak JKN-KIS. Pertama, bagi pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan segera. Kedua, bagi pasien yang membutuhkan pelayanan yang terjadwal rutin dan tak bisa ditunda. Semisal hemodialisa bisa dilakukan di rumah sakit tersebut.
“Begitu juga dengan kemoterapi," ujar Bambang.
Meski begitu, bagi rumah sakit yang lalai melakukan akreditasi ulang, pemerintah terpaksa mengakhiri kerja sama BPJS Kesehatan. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi daerah yang hanya punya satu rumah sakit, lantaran terbatasnya akses.
"Kalau ini disarankan agar tetap melayani peserta JKN-KIS," tuturnya.
Kewajiban akreditasi tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit. Akreditasi, kata Bambang, bertujuan melindungi pasien dan masyarakat. Sayangnya, belum semua rumah sakit mampu menjalankan kewajiban itu.
"Kemenkes berharap, rumah sakit melaksanakan kewajiban akreditasi untuk mencapai mutu dan pelayanan rumah sakit," kata Bambang.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan, Maya Amiarny Rusady mengimbau agar rumah sakit segera menyelesaikan akreditasinya. Ia melihat, banyak peluang masalah saat rumah sakit tidak menunaikan kewajibannya. Salah satunya, pemutusan kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
"Kami mengimbau segera pendaftaran mengurus akreditasi dan reakreditasi, sehingga tidak terjadi masalah ke depan," ucap Maya.
Sementara itu, untuk menyiasati agar peserta BPJS tetap mendapatkan pelayanan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pihak terkait, seperti dinas kesehatan setempat. Koordinasi ini dilakukan untuk memastikan pelayanan bagi peserta JKN-KIS sudah mendapat pedoman ke mana rujukan rumah sakit akan diarahkan, usai pemutusan kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Sekretaris Akreditasi KARS Djoti Atmodjo mengaku sudah memberikan kemudahan bagi setiap rumah sakit yang hendak melakukan akreditasi. Ia mengimbau agar proses reakreditasi diajukan lebih awal supaya tidak terjadi pemutusan kerja sama dengan BPJS.
Lebih lanjut, Djoti mengatakan, masalah yang terjadi karena pihak rumah sakit meminta jadwal akreditasi pada bulan Juni. Padahal, akreditasinya telah habis pada Maret.
"Masalah yang sangat heboh terjadi belakangan itu sebenarnya tidak ada. Karena habisnya bulan Maret, tapi mengajukan akreditasi bulan Juni. Setelah diputus mereka minta dimajukan pada bulan Mei, itu juga kami layani," ucapnya.
Djoti memandang, inisiatif rumah sakit untuk melakukan akreditasi masih rendah. Sebab, soal akreditasi, seharusnya pihak rumah sakit yang lebih aktif.
“KARS sebagai surveyor sifatnya pasif kecuali diminta pihak rumah sakit,” kata Djoti.