Dua mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin) yakni Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie dijadwalkan akan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keterangan kedua mantan Menko Ekuin tersebut guna mengusut perkara megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, pemanggilan kedua mantan Menko Ekuin dilakukan guna mendalami perkara dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyelamatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Keduanya diperiksa untuk perkara saksi terkait perkara korupsi SKL BLBI," kata Febri, dalam pesan singkat, Kamis (11/7).
Sebelumnya, KPK memastikan tetap akan melakukan proses penyidikan perkara terhadap tersangka konglomerat suami-istri Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Meskipun, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan membebaskan Syafruddin dari tuntutan hukum.
"KPK sebagai institusi penegak hukum menghormati putusan MA dalam perkara ini, namun kami nyatakan juga KPK tidak akan berhenti melakukan upaya hukum dalam perkara ini. Khususnya dalam rangka mengembalikan dugaan kerugian keuangan negara Rp4,58 triliun dalam perkara ini," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, saat konfrensi pers di gedung Merah Putih KPK, Selasa (9/7).
Dalam perkara ini, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim diduga telah melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, SJN dan ITN disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.