Ahli hukum pidana dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Institute of Business Law and Legal Management (IBLAM) Abdul Chair Ramadhan menilai lima komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut Abdul, kewenangan komisioner KPK untuk memberikan izin penyadapan, menentukan tersangka, dan memerintahkan penahanan dengan sendirinya terlucuti setelah Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK berlaku.
"Karena kewenangan-kewenangan itu sudah diambil alih oleh Dewan Pengawas," kata Abdul saat memberikan keterangan dalam sidang praperadilan kasus suap impor bawang putih di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ampera Raya, Jakarta, Kamis (7/11).
Dalam kasus suap impor bawang putih, KPK telah menetapkan politikus PDI-Perjuangan I Nyoman Dharmantra sebagai salah satu tersangka. Adapun di sidang tersebut, Abdul menjadi saksi ahli yang dihadirkan I Nyoman.
Lebih jauh, Abdul mengatakan, status penyidik dan penuntut umum sudah tidak lagi melekat pada pimpinan KPK setelah UU KPK yang baru berlaku. Menurut Abdul, regulasi baru itu bahkan menegaskan komisi antirasuah sudah masuk dalam rumpun eksekutif.
"Jadi pimpinan KPK itu tidak berhak lagi menindaklanjuti penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU baru. Penyidikan dan penuntutan tidak lagi berdasar perintah dan bertindak untuk mengatasnamakan pimpinan KPK. Kenapa? Karena pimpinan KPK ini bukan lagi lembaga aparat penegak hukum," ujar dia.
I Nyoman Dharmantra menggugat penetapan dirinya sebagai tersangka karena menilai KPK melanggar prosedur yang termaktub dalam UU KPK yang baru. KPK, kata Nyoman, tidak melakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka terlebih dahulu sebelum menahan dirinya.
Namun demikian, argumentasi Abdul dan I Nyoman ditepis pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Ari Setiawan yang juga dihadirkan di persidangan. Menurut dia, KPK bisa menahan dan memperpanjang massa penahanan I Nyoman Dharmantra meskipun UU KPK yang baru telah berlaku.
Kewenangan itu, lanjut Ari, tertera di Pasal 70 C UU KPK yang baru. Disebutkan dalam pasal itu, 'Proses penanganan perkara mulai dari penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi yang belum selesai harus dilakukan dengan ketentuan regulasi baru tersebut.'
Menurut Ari, perkara I Nyoman tergolong kasus yang penyidikannya sudah rampung. "Dengan demikian, kalau ada satu perkara penyidikan yang sudah berjalan, kemudian di tengahnya itu berlaku UU baru, maka tindakan selanjutnya itulah dilakukan sesuai dengan ketentuan baru," kata Ari.
Logika yang sama juga berlaku untuk kewenangan penyitaan. Jika tindakan penyitaan itu dilakukan sebelum berlakunya UU KPK yang baru, menurut Ari, penyidik KPK tidak perlu meminta izin terlebih dahulu.
"Maka dari itu, ahli berpendapat bahwa (tindakan hukum) itu akan melihat dari tanggal kapan berlakunya undang-undang itu dan kapan tindakan itu dilakukan," jelas dia.