Dua sisi bilik isolasi mandiri 'bikinan' Anies
Pintu pagar Sekolah Dasar Negeri (SDN) Bendungan Hilir 12 di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, tertutup rapat, Jumat (17/8) siang itu. Sebuah rantai bergembok melilit di pintu pagar. Tak terlihat ada aktivitas di sekolah itu.
Di luar sekolah, Indra Kusnadi, 45 tahun, berbaring di atas conblock penutup selokan. Sesekali, mata petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) itu melirik ke arah sekolah.
"Di dalam (ruangan kelas) ada satu PDP (pasien dalam pengawasan) Covid-19. Laki-laki. Udah semingu di sini," kata Indra saat berbincang dengan Alinea.id.
Bersama petugas PSSU lainnya, Indra bergantian berjaga di depan sekolah. Selain bersih-bersih, mereka juga ditugaskan untuk menyiapkan makanan bagi pasien. Jatah makan pasien biasanya digantung di depan pintu pagar.
"Makan tiga kali sehari. Kami yang ambil dari kantor Dinsos (DKI Jakarta). Ketemu (pasien) saat itu aja, terus dia kembali lagi ke dalam (sekolah)," ungkap Indra.
Sejak Juli, baru dua pasien yang memanfaatkan ruang kelas SDN Bendungan Hilir 12 sebagai tempat isolasi mandiri. Tak ada fasilitas istimewa yang tersedia di sekolah itu, selain kamar mandi dan tempat tidur. "Minggu lalu sudah keluar yang satunya. Katanya sudah selesai masa isolasi," tutur Indra.
Situasi serupa juga dijumpai di SMA 24 Tanah Abang dan SMP 8 Menteng. Dua sekolah itu masuk dalam daftar 136 sekolah yang dijadikan sebagai rumah isolasi sementara pasien Covid-19 yang disiapkan Pemprov DKI. Sekolah tampak lengang dan tak ada tanda-tanda perawatan ODP maupun PDP.
Selain sekolah, Balai Kebudayaan DKI Jakarta yang berlokasi di Tanah Abang juga disulap menjadi tempat isolasi sementara. Saat disambangi Alinea.id pada hari yang sama, pintu Balai Kebudayaan DKI juga tertutup.
"Masih ada tujuh ODP (orang dalam pengawasan) di sini. Mereka ada di dalam. Security-nya tidak ada. Dia yang pegang kunci pagar," kata seorang petugas kepada Alinea.id.
Ada puluhan bilik isolasi di Balai Kebudayaan DKI. Bersama 136 sekolah lainnya, gedung Balai Kebudayaan DKI didesain sebagai tempat "transit" para ODP dan PDP sembari menunggu hasil tes swab.
Saat mengunjungi Balai Kebudayaan DKI, Mei lalu, Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut bilik-bilik isolasi mandiri tersebut disiapkan sebagai solusi meminimalisasi penularan Covid-19 di kampung-kampung padat penduduk.
"Seperti kita tahu bahwa 80% kasus terpapar Covid-19 merupakan mereka yang bergejala ringan dan tak bergejala. Mereka diharuskan untuk isolasi mandiri selama 14 hari," kata Anies ketika itu.
Anies mengatakan bilik isolasi mandiri untuk pasien Covid-19 yang tak bergejala atau bergejala ringan bakal ada di setiap kelurahan di DKI. "Terobosan bilik mandiri ini merupakan solusi terbaik agar fasilitas kesehatan lanjutan dapat diprioritaskan untuk mereka yang bergejala berat," kata dia.
Efektif untuk kelurahan padat penduduk
Bilik-bilik itu disediakan karena isolasi mandiri hampir mustahil dilakukan oleh pasien yang tinggal beramai-ramai bersama keluarganya di satu rumah. Di sisi lain, jumlah tempat tidur dan ruangan isolasi pasien di RS pun terbatas.
Keberadaan bilik-bilik isolasi mandiri bikinan Pemprov DKI itu setidaknya dirasakan warga Tambora, Jakarta Barat. Saat ini, ada belasan warga Tambora yang ditampung di GOR Tambora untuk menjalani isolasi mandiri.
"Tambora itu kan pemukiman padat. Jadi, banyak rumah yang tidak layak untuk dijadikan tempat isolasi. Akhirnya, kami putuskan di GOR kecamatan," ujar Kasudin Kesehatan Jakarta Barat Kristi Wathini kepada wartawan di Jakarta, Selasa (25/8) lalu.
Saat ini, ada 30 kasus aktif di kecamatan terpadat di DKI Jakarta itu. Sebanyak 11 di antaranya ditampung di GOR Tambora. Keputusan untuk menjadikan GOR Tambora sebagai lokasi isolasi merupakan hasil kesepakatan dari para lurah, pengurus RT, dan pihak puskesmas.
Selama isolasi, Kristi mengatakan, makanan dan fasilitas lainnya disediakan bagi mereka. Protokol untuk mencegah penularan juga diterapkan dengan ketat. "Sudah hampir sepuluh hari di GOR. Jadi, massa isolasinya sudah hampir selesai," ujar Kristi.
Sejak Januari hingga 26 Agustus, jumlah warga DKI yang diduga (suspect) terpapar virus Covid-19 sudah sekitar 77 ribu orang. Angka itu sekitar dua kali lipat jumlah kasus positif Covid-19 di DKI. Kebanyakan pasien merupakan OTG dan sembuh setelah isolasi mandiri.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto mengatakan tak semua pasien positif Covid-19 harus ke rumah sakit. Dalam kasus-kasus tertentu, isolasi mandiri mencukupi bagi orang-orang yang tak bergejala atau bergejala ringan.
"Ya, enggak masalah. Isolasi kan bukan masalah tempat, tapi masalah tindakan agar tidak menularkan ke orang. Kalau enggak ada keluhan dan ditaruh di rumah sakit, ngapain?" ujar Yurianto saat dihubungi Alinea.id, Selasa (25/8).
Di Jakarta, ada 59 rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19. Meski jumlah RS rujukan cukup banyak, Yurianto mengatakan, kapasitasnya tidak akan memadai jika semua OTG dirawat di RS. "Penuh rumah sakit kalau diisi orang tanpa gejala semua di situ," katanya.
Meski begitu, isolasi mandiri juga tidak boleh sembarangan. Yurianto mengatakan, pasien positif tanpa gejala atau bergejala ringan harus tetap berkonsultasi dengan dokter.
"Kan kita (dokter) tanya, 'Mampu enggak isolasi mandiri di rumah?' Kalau mampu, ya sudah, kasih," ujar mantan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 tersebut.
Perketat pengawasan isolasi mandiri
Pakar epidemiologi Pandu Riyono menilai tempat isolasi mandiri yang disediakan Pemprov DKI Jakarta tak efektif untuk menekan angka penularan Covid-19. Selain minim pengawasan, sekolah dan gedung-gedung lainnya bukanlah tempat yang cocok untuk melakukan isolasi.
"Itu lebih baik ditinggalkan karena enggak memungkinkan. Sekolah, ya, sekolah. Isolasi, ya, isolasi. Kalau untuk banjir, sementara 2-3 hari enggak apa-apa kan. Ini bukan menghadapi bencana alam, tapi menghadapi bencana yang jauh lebih pelik," kata Pandu kepada Alinea.id, Selasa (25/8).
Pandu juga tak sepakat OTG dibiarkan isolasi mandiri di rumah. Menurut dia, OTG potensial menjadi agen penularan virus. Ia menyarankan pasien OTG ditempatkan di rumah sakit darurat semisal di Wisma Atlet, Kemayoran.
"Isolasi mandiri di rumah siapa yang ngawasi? Apalagi, rumahnya masih gabung sama orang lain. Makanya, kita melihat di DKI itu, selain klaster rumah, juga muncul klaster kos. Jadi, klaster kos itu mulai ada, tapi tidak diungkap aja," kata Pandu.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis menyoroti kebijakan isolasi mandiri dari sudut pandang regulasi. Menurut dia, isolasi mandiri tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam UU tersebut, isolasi dijelaskan sebagai langkah 'pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.'
"Isolasi mandiri tidak ada dalam undang-undang. Ngarang-ngarang aja pemerintah nih. Jelas dalam undang-undang menyebutkan itu namanya karantina. Karantina rumah, karantina rumah sakit, atau karantina wilayah. Itu (kebijakan) udah ngaco," kata Rissalwan.
Terlepas dari pro-kontra kebijakan itu, Rissalwan mengatakan harus ada standar yang ketat untuk pasien ataupun OTG melakukan isolasi mandiri. Pasalnya, setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam merespons virus.
"Artinya, kalau dia (pasien) tidak nyaman dengan sakitnya itu, pemerintah harus cepat merespons. Sekarang kan kesannya pembiaran. Kalau dulu kan, heboh dijemput. Misalnya, sekitar April-Mei. Ketika dengar laporan positif, itu langsung dijemput ke rumah," kata dia.
Rissalwan juga sepakat pengawasan terhadap pasien tak bergejala yang menjalani isolasi mandiri harus diperketat. "Kalau dokter bilang (isolasi) di rumah karena kondisi rumah sakit terpapar, harus dipastikan di rumah dia tidak menularkan ke orang," kata Rissalwan.