Dua sisi sengsara warga di Kampung Bayam
Kardiman terlihat gelisah. Di antara puing-puing bekas kafenya di Kampung Bayam, Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pria berusia 54 tahun itu mondar-mandir. Sesekali, dia menunduk untuk memungut sesuatu di tanah.
Beberapa jam sebelumnya, kafe Kardiman dirobohkan paksa oleh rombongan personel Satpol-PP DKI Jakarta. Tak punya duit untuk pindah, Kardiman memilih bertahan di bekas kafenya. Perabotan miliknya menggunung di pinggir rel kereta tak jauh dari Kampung Bayam.
"Buat pindah rumah kan butuh duit. Saya mau pinjam ke siapa? Yang lain juga lagi pada susah," kata Kardiman saat berbincang dengan Alinea.id di depan bekas kafenya di Kampung Bayam, Selasa (24/8) siang.
Kafe milik Kardiman merupakan satu dari sekian banyak bangunan liar di Kampung Bayam yang dirobohkan Satpol PP karena berada di area pembangunan Jakarta International Stadium. Proyek itu digarap PT. Jakarta Propertindo (Jakpro).
Kardiman mengklaim Jakpro sempat menjanjikan duit ganti rugi untuk semua bangunan yang digusur. Namun, hingga sekarang ia tak pernah menerima duit ganti rugi itu. "Janjinya dia mau ngasih Rp32 juta untuk kafe," ungkap pria yang telah tinggal di Kampung Bayam sejak 2005 itu.
Hingga kini, Kardiman mengaku masih kesal dengan langkah Pemprov DKI menggusur rumah dan tempat usaha warga. Ia menyebut penggusuran dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. "Tiba-tiba mereka datang sekian banyak, terus langsung main bongkar," kata dia.
Risau serupa juga menghinggapi benak Rini, 53 tahun. Dengan langkah gontai, Rini mengais puing-puing bangunan toko kelontongnya yang turut dirobohkan Satpol PP berbarengan dengan kafe Kardiman. Ia berharap ada perabotan yang masih bisa diselamatkan.
"Saya ini di sini dagang. Lah, terus saya disuruh pindah? Berarti, ya, saya harus cari tempat usaha baru juga," kata Rini saat berbincang dengan Alinea.id tak jauh dari bekas warungnya.
Rini sudah 13 tahun tinggal di Kampung Bayam. Sebelum warungnya dirobohkan, menurut Rini, ia pernah dijanjikan ganti rugi Rp36 juta oleh Jakpro. Rini sudah punya segudang rencana untuk memulai hidup baru dengan duit ganti rugi itu.
"Tapi enggak jadi dikasih. Padahal, rencananya kalau dapat ganti rugi, niatnya pengin buat modal dagang. Jadi, saya bingung. Ini mau gimana? Mana saya masih punya tanggungan anak dua," kata perempuan asal Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah itu.
Tak punya lagi penghasilan tetap, Rini mengaku berencana tinggal sementara di rumah salah satu kerabatnya di Plumpang, Jakarta Utara. Meski begitu, ia berjanji bakal tetap menuntut tanggung jawab dari Pemprov DKI. "Supaya saya punya modal dagang," imbuh Rini.
Polemik janji ganti rugi
Capembe, 53 tahun, menuturkan hal serupa. Seperti Kardiman, Capembe juga membuka kafe di Kampung Bayam. Menurut dia, Jakpro pernah menjanjikan uang ganti rugi bagi seluruh lapak usaha yang tergusur karena proyek pembangunan JIS.
"Form sudah keluar beserta angkanya dari Jakpro. Tapi, ganti rugi dihilangkan begitu aja oleh Jakpro. Kekeh dia enggak mau bayar nominal ini. Dalil Jakpro, ilegal. Permainan aja ini semua. Awalnya ngomong apa, ujungnya ngomong apa," kata Embe, sapaan akrab Capembe, kepada Alinea.id.
Embe sudah 17 tahun tinggal di Kampung Bayam. Meskipun kafe dan tempat tinggalnya sudah luluh-lantak, Embe mengaku bakal tetap bertahan di kampung yang sejak 1996 terkenal dengan budi daya sayur bayam itu.
"Uangnya belum ada. Jadi, saya di sini aja. Apalagi kita warga Priok asli, nanti dibersihin lagi juga bisa buat tidur. Kalau soal bongkar pasang mah, udah hal yang biasa. Enggak takut-takut lagi kayak begini," kata Embe.
Suroso, salah satu sesepuh Kampung Bayam, membenarkan jika Jakpro pernah menjanjikan ganti rugi untuk 26 kafe dan salon yang ada di kampungnya. Total ganti rugi yang dijanjikan sebesar Rp417.158.750. Rinciannya, setiap kafe yang tergusur mendapat Rp20 juta dan setiap rumah mendapatkan Rp30 juta.
"Setahun lalu, Jakpro sudah membuat nominal, menentukan masing-masing bangunan dapat berapa. Terus, tiba-tiba dihilangkan. Tapi, kami sudah bilang enggak bisa begitu. Kafe-kafe ini juga bikinnya pakai duit. Bagaimana ceritanya enggak diganti rugi," ujar Suroso kepada Alinea.id.
Suroso tinggal di Kampung Bayam sejak 2010. Selain rumah, ia juga mendirikan kafe. Tapi, hanya rumahnya yang diganti rugi oleh Jakpro. "Kafe enggak diganti," kata Suroso sembari memperlihatkan gulungan kertas yang berisi data warga yang seharusnya mendapatkan ganti rugi dari Jakpro.
Menurut Suroso, warga yang bertahan di Kampung Bayam berencana membawa kasus sengketa lahan itu ke ranah hukum. Saat ini, warga masih mencari pengacara yang mau memegang kasus mereka. "Minta dibantu bagaimana caranya bisa diganti rugi. Kami mau tuntut ke pengadilan," ucap pria asal Yogyakarta itu.
Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan Jakpro Nadia Diposanjoyo mengatakan pihaknya tak memberikan ganti rugi kepada para pemilik kafe lantaran usaha mereka ilegal. Itu berbasis kajian tim independen yang diberikan kuasa oleh Jakpro untuk mendata ganti rugi, yakni PT Deira Sygisindo dan KJPP Anas Karim Rivai.
"Sebab, praktek usahanya ilegal serta tergolong bidang usaha yang dilarang oleh pemerintah. Menurut aparatur kewilayahan setempat, kafe-kafe tersebut menjual minuman keras hingga adanya praktek prostitusi," kata Nadia saat dihubungi Alinea.id, Kamis (26/8).
Para pemilik kafe, kata Nadia, juga tak berhak mendapatkan ganti rugi karena bukan warga asli Kampung Bayam. "Sebaliknya, jika mereka mendapatkan kompensasi, justru Jakpro yang melanggar undang-undang," ujar Nadia.
Nadia menyangkal pihak Jakpro pernah berjanji memberikan ganti rugi kepada pemilik kafe yang ada di Kampung Bayam. "Tidak ada. Kami berikan kepada pemilik warung kelontong warga, namun bukan pemilik kafe," ujar Nadia.
Soal draf ganti rugi yang beredar di kalangan warga, Nadia membantah itu dokumen resmi dari Jakpro. Menurut dia, itu hanya secarik kertas data survei milik kedua konsultan Jakpro yang terjun langsung ke Kampung Bayama untuk mencocokkan data.
"Ditujukan ke perwakilan pengurus untuk disamakan datanya. Tidak terpakai dan bukan dokumen resmi final yang diajukan konsultan. Itu bagian dari survei awal yang diadakan dan perlu dilakukan pertimbangan dan pengecekan kembali dan sama sekali bukan dokumen jaminan penyaluran," kata Nadia.
Transparansi dan kompromi
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan setidaknya ada tiga prinsip yang harus dipenuhi dalam merelokasi warga penggusuran. Pertama, penertiban pemukiman harus berbasis prinsip ganti untung.
"Artinya, semua yang ditawarkan harus menguntungkan bagi warga yang terkena relokasi, misalnya, hunian harus lebih memadai, lebih layak huni, dan lebih nyaman," kata Nirwono saat dihubungi Alinea.id, Senin (25/8).
Kedua, relokasi atau penertiban harus bertujuan menyejahterakan warga yang direlokasi. "Semisal si anak dekat dengan sekolah, dekat pasar agar memudahkan si ibu berbelanja harian atau juga memudahkan untuk usaha. Intinya, tidak menghilangkan mata pencaharian," kata Nirwono.
Nirwono menilai wajar bila sebagian warga Kampung Bayam kurang puas dengan solusi ganti rugi dari Jakpro. Jika diberi pilihan, menurut dia, sebagian warga pasti bakal memilih bertahan di Kampung Bayam yang potensial bakal lebih ramai setelah JIS berdiri.
"Hal ini (ganti rugi) idealnya dituntaskan sebelum pembangunan selesai. Dengan kondisi sekarang, justru menjadi sulit karena mereka melihat ada potensi lebih menguntungkan dengan selesainya pembangunan JIS," kata Nirwono.
Supaya polemik tak berkepanjangan, Nirwono menyarankan agar pihak Jakpro transparan dalam memberikan ganti rugi. Jika perlu, Jakpro berkompromi dengan membuka peluang bagi warga setempat untuk bekerja di lingkungan JIS.
"Kepastian proses pemindahan kemana, kapan, bagaimana peluang di tempat baru, serta kemungkinan untuk direkrut sebagai pekerja atau karyawan bagi seluruh anggota keluarga atau terlibat dalam pengoperasinalan JIS sebagai bentuk kompensasi yang bisa ditawarkan," ujar Nirwono.
Menyikapi perselisihan soal ganti rugi di Kampung Bayam, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari PDI-Perjuangan Gilbert Simanjuntak mempersilakan warga Kampung Bayam yang belum puas dengan keputusan Jakpro untuk melapor ke DPRD DKI Jakarta.
"Penjelasan yang disampaikan Jakpro dalam rapat dua hari yang lalu, hal ini juga ditanyakan, dan dijawab sudah sesuai prosedur. Kalau masih belum sesuai, sebaiknya mereka (warga Kampung Bayam) datang ke DPRD menyampaikan keluhan dengan bukti yang ada," kata Gilbert.