Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan dugaan penyebab terjadinya tsunami yang terjadi di Selat Sunda pada Sabtu (21/12) malam. Longsor bawah laut akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau, dengan pasang laut akibat bulan purnama, ditengarai menjadi pemicunya.
Hanya saja, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menekankan hal tersebut masih belum dapat dipastikan.
"Itu masih dugaan, untuk kepastiannya, sejumlah pihak terkait seperti BMKG, PVMBG, BPPT, KKP, serta pihak lain masih terus melakukan analisa dan kajian mengenai penyebab pastinya," kata Sutopo saat memberikan keterangan di Yogyakarta, Minggu (23/12).
Menurutnya, aktivitas letusan Gunung Anak Krakatau tidak terlalu besar. Gunung yang sudah meletus sejak Mei lalu ini, justru mengalami letusan yang lebih besar pada November lalu. Namun saat itu, aktivitas gunung tersebut tidak menyebabkan tsunami.
Karenanya, Sutopo menegaskan, pihak-pihak terkait masih terus melakukan analisa terkait kejadian ini.
Terkait tidak adanya peringatan dini tsunami dalam peristiwa ini, Sutopo mengatakan hal ini disebabkan alat yang tersedia. Alat peringatan dini tsunami yang ada di Indonesia, kata dia, hanya memberi peringatan tsunami yang dipicu aktivitas tektonik atau gempa besar.
"Untuk tsunami yang dipicu oleh penyebab lain seperti longsor bawah laut, tidak akan memicu sensor yang dipasang sehingga tidak ada peringatan dini apapun yang disampaikan," katanya.
Berdasarkan data BNPB hingga pukul 13.00 WIB, Minggu (23/12), ada 168 orang meninggal akibat peristiwa ini. Adapun korban luka mencapai 745 orang, dan 30 orang lainnya dinyatakan hilang.
Selain itu, tercatat 556 rumah mengalami kerusakan dalam peristiwa ini. Sutopo mengatakan, jumlah korban dan kerusakan itu kemungkinan masih akan terus bertambah. Ini disebabkan proses evakuasi dan pendataan masih terus berlangsung. (Ant)