Kasus dugaan suap penerimaan mahasiswa baru Universitas Lampung (Unila) jalur seleksi mandiri tahun akademik (TA) 2022/2023 yang menjerat pimpinan tinggi Unila sebagai tersangka menuai berbagai kritik. Tak sedikit pihak yang meminta pelaksanaan seleksi jalur mandiri di perguruan tinggi dievaluasi, bahkan dihentikan.
Anggota Ombudsman Indraza Marzuki Rais mengatakan, pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
"Memang ada aturannya yang membolehkan universitas negeri membuka jalur mandiri, kenapa? Karena status sudah BHMN, di mana mereka mempunyai otoritas, kewenangan, terkait dengan keuangan. Dan ini yang sebetulnya sah-sah saja," kata Indraza kepada wartawan di Kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (25/8).
Indraza mengatakan, kewenangan yang dimiliki universitas berstatus BHMN (Badan Hukum Milik Negara) untuk mengatur tata kelolanya sendiri ini perlu diawasi. Menurutnya, kasus dugaan suap di Unila jadi salah satu contoh minimnya program pengawasan untuk mencegah terjadinya praktik korupsi di satuan pendidikan tinggi.
"Pengawasan terhadap proses jalur mandiri itu, itu yang paling penting sebetulnya, dan juga pengelolaan tata kelola di universitas itu. Itu yang jadi kendala kan sekarang," ujarnya.
Diakui Indraza, lembaga pengawas pelayanan publik seperti KPK, Ombudsman, BPK, BPKP belum melakukan pengawasan secara terkoordinir.
"Harusnya berbagai lembaga pengawas pelayanan publik, harusnya ada kerja sama antarlembaga, namun ini masih kurang," terang Indraza.
Oleh sebab itu, ia berharap lembaga-lembaga ini akan berkoordinasi untuk mencegah kejadian serupa berulang.
"Kami harap sebetulnya program pencegahan baik maladministrasi maupun korupsi itu harusnya bisa dilakukan oleh semua lembaga," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus dugaan suap penerimaan mahasiswa baru Unila jalur seleksi mandiri tahun akademik (TA) 2022/2023, Minggu (21/8). Salah satunya, Karomani.
Dua pejabat kampus lainnya juga berstatus tersangka, yakni Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila, Heryandi, dan Ketua Senat Unila, Muhammad Basri (MB). Sementara itu, seorang lainnya dari swasta, Andi Desfiandi.
Atas perbuatannya sebagai penerima suap, Karomani dan kedua rekannya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Andi, yang merupakan pemberi suap, dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor.