Uang pungutan liar (pungli) dari korban tsunami Selat Sunda di Banten yang dibagi-bagikan mencapai Rp46 juta.
Saksi dari Rumah Sakit dr Drajat Prawiranegara (RSDP) Serang mengaku uang dari hasil pungli korban tsunami Selat Sunda dibagikan kepada pegawai forensik RSDP Serang. Pembagian hasil pungli tersebut atas inisiatif dirinya sebagai kepala ruangan forensik.
Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan pungli korban tsunami Selat Sunda di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Senin (29/7) malam.
"Itu atas usulan saya, menyampaikan di ruangan (forensik) ada Fathullah, Mulyadi," kata Amran saat ditanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Eka Nugraha.
Uang pungli dari korban terkumpul Rp46 juta. Uang dibagikan kepada Amran selaku kepala ruangan Rp6 juta, terdakwa Fathullah Rp6 juta, dokter Budi Rp6 juta, terdakwa Budiyanto Rp500.000, dan terdakwa Indra Maulana Rp350.000. Uang pugli itu juga sebagian digunakan untuk membayar peti jenazah.
Sebagai kepala ruangan, dirinya mengetahui adanya pungli untuk korban tsunami Selat Sunda. Uang itu diperuntukan untuk pemulasaraan jenazah dan formalin.
Menurut dia, uang itu dipungut oleh terdakwa Fatullah. Kemudian uang hasil pungli ini pun disampaikan ke dr Budi namun diminta untuk disetorkan ke kas rumah sakit.
"(Orang) yang jaga, yang memegang uang untuk operasional tapi keputusan ada di dokter Budi," katanya.
Tak tahu prosedur
Sementara itu, Amran mengatakan, petugas Instalansi Forensik RSDP tidak mengetahui prosedur penanganan medis kejadian luar biasa tidak dipungut biaya.
Ia mengaku belum pernah mendapat sosialisasi penanganan medis bagi korban kejadian luar biasa dan sosialisasi Peraturan Bupati Serang nomor 46 tahun 2013 tentang pola tarif jasa pelayanan kesehatan pada badan layanan umum daerah rumah sakit umum daerah kabupaten Serang bagi korban bencana.
Pihaknya baru mengetahui pembiayaan pengurusan jenazah tidak dipungut biaya pada tanggal 29 Desember 2018 saat diberitahu oleh pihak kepolisian dari Polda Banten.
"Belum permah ada petunjuk (penanganan medis) soal bencana. Kemudian belum pernah ada selebaran (prosedur penanganan kejadian luar biasa) dan pemberitahuan belum pernah," kata Amran saat dimintai keterangan oleh majelis hakim.
Amran mengatakan, pemungutan biaya pengurusan jenazah berlaku bagi keluarga korban yang meminta dilakukan pelayanan maksimal seperti biaya pemandian jenazah, pemberian formalin dan kain kafan serta penggunaan peti jenazah. Semua penentuan dan pemungutan dilakukan oleh terdakwa Fatullah.
Sedangkan, keluarga korban yang tidak meminta dilakukan pelayanan maksimal tidak dipungut biaya. Hanya dimandikan lalu dibawa langsung oleh pihak keluarga.
"Ada jenazah masuk dilakukan pemeriksaan luar dimasukan di kulkas jenazah. Formalin, kain kafan dan peti harus ada permintaan keluarga. Kalau enggak ada permintaan keluarga langsung dibawa," katanya.
Selain tidak mengetahui prosedur, menurut Amran, pungutan biaya tersebut untuk membeli kain kafan, formalin dan peti jenazah korban tsunami Selat Sunda. Sebab, barang tersebut tidak tersedia di RS.
"Tidak paham penanganan medis kejadian luar biasa terkait bencana alam dan barangnya tidak ada," katanya.